Friday, March 30, 2007

ANGKLUNG



SAYA tengah jatuh cinta kepada alat musik tradisional bernama angklung. Kebetulan Mas Dicky – salah seorang sahabat menghadiahi saya seperangkat alat tersebut. Di setiap kesempatan luang di rumah,saya berusaha memainkannya – dalam suasana iseng atau serius(meskipun nggak mahir-mahir juga!). Diam-diam, saya juga suka memperhatikan alat yang dibuat dari bilah bambu tersebut. Bentuknya sebetulnya tidak istimewa. Terkesan bahkan sangat sederhana. Hanya potongan bambu yang dihubungkan secara vertikal dan horizontal. Tapi,sungguh, membetot perhatian. Termasuk suami saya yang biasanya lebih asyik dengan palet cat dan kanvas. Dia bolak-balik memotret angklung tersebut – dari pelbagai sudut. Dan harus saya akui, hasilnya jepretannya sangat artistik. Layaknya ia mengayunkan kuas di atas kanvas. Saking jatuh cintanya saya kepada angklung, saya menggunakannya sebagai ikon dalam banyak media publikasi perusahaan saya tahun ini (untungnya manajemen tidak keberatan!).

Aneh sebenarnya. Karena ini bukan kali pertama saya melihat angklung.Beberapa kali saya sempat memergoki alat tradisionil ini dimainkan ditengah konser musik, di antara perangkat musik yang hampir seluruhnya diusung dari belahan dunia barat – sebuah kolaborasi yang unik. Dulu,ketika saya kecil, meski saya tidak mendapatkan pelajaran bermain angklung di sekolah – seperti ponakan saya saat ini, tapi saya nyaris tiap pekan menyaksikan permainan alat ini di TVRI.

Piranti bambu ini memang diakrabi beberapa kelompok masyarakat kita – sebut etnis Minahasa atau Sunda.Tapi kini saya melihat angklung dengan perasaan berbeda. Barangkali karena inilah pertama kali saya memiliki kesempatan untuk menyentuh,mencermati, dan memainkannya sendiri. Di telinga saya, alat ini tidak sekadar mengeluarkan nada. Tapi juga sebuah bunyi yang bahkan melampaui sejumlah nada yang bisa dirumuskan dalam sebuah notasi.Seperti desau yang menyeruak dari tengah belantara. Atau, reriungan angin yang meniti lereng gunung dan lembah. Seperti kerisik daun bambu yang runcing menjuntai bertautan disentuh angin kemarau yangbergegas lewat.

Lalu, seperti mengalami deja vu, saya menghirup kembali aroma masa kecil ketika saya masih sering berlibur ke pelosok. Mencium bau tanah basah, rumput, dan ternak. Menyaksikan bahu-bahu legam lelaki tua yang mengusung potongan bilah-bilah bambu di sepanjang jalan pedusunan. Mengamati dengan awas tangan-tangan cermat berpeluh menyerut, menghaluskan tepiannya, mengikat dengan kuat agar mudah dipegang dan tak melukai tangan, merancangnya dengan cermat agar mengeluarkan nada yang tidak sumbang dan keliru.


Dan di sinilah jerih payah itu berujung – setelah diangkut banyak kendaraan dan melewati banyak pasar dan penawaran. Ia hadir di salah satu sudut rumah saya. Juga di sebuah hotel berbintang terkemuka di Jakarta. Di ballroom hotel itu pulalah saya dibuat terkesima.Ternyata angklung itu bisa dimainkan ribuan orang secara bersamaan –dari direktur hingga office boy, dari yang mampu membaca notasi hingga mereka yang buta sama sekali tentang musik. Perangkat itu dengan mudah dimainkan oleh seluruh yang hadir dalam perayaan harijadi perusahaan saya. Dimainkan dengan sepenuh kegembiraan, sepenuh jiwa, tanpa nada sumbang. " Hanya angklung yang bisa dimainkan seperti ini. Coba bayangkan kalau ribuan orang bermain piano semua,atau gitar semua," bisik teman saya.

Dan saya membenarkan. Lagi pula, tidak ada seorang gitaris yang hanya memainkan satu nada. Dan tidak sebuah gitar atau piano pun yang nadanya dapat dipecah-pecah dan kemudian setiap nada dimainkan orang yang berbeda. Tapi angklung bisa. Ribuan orang di aula besar itu bermain angklung secara bersama-sama, dengan bekal satu nada berbedadi tangan masing-masing.Angklung adalah simbol kebersamaan, sebuah harmoni yang lahir dari keberbedaan.

Kunci keberhasilan permainan massal angklung terletak pada ketaaatan atas aturan main. Di bawah arahan seorang konduktor,sejumlah nada diinstruksikan untuk dimainkan hanya dengan bantuan isyarat gerakan jari dan kepal tangan – sehingga setiap pemain dengan mudah menerjemahkan isyarat itu sebagai satu nada. Sebuah bentuk komunikasi, yang menurut saya, sangat sederhana.

Karena itu, di mata saya, permainan angklung mengajarkan banyak hal.Bahkan untuk kita yang sehari-hari tenggelam dalam rutinitas kantor.Seorang direktur atau pemimpin perusahaan misalnya, sebetulnya bisa menggerakkan anggota organisasi membentuk harmoni: menjadi teamwork yang solid hanya dengan menggunakan bahasa sederhana – bahasa yang dipahami oleh semua anggota organisasi. Pemimpin yang baik juga adalah pemimpin yang mampu menciptakan aturan main yang bisa menggerakkan karyawan tanpa kecuali -- bahkan untuk mereka yang kita anggap tidak memiliki kompetensi apa pun. Harmoni angklung mensyaratkan pentingnya menaati aturan main, mensyaratkan kesadaran tentang pentingnya peran dan tanggung jawab masing-masing.

Sekali waktu konduktor mengisyaratkan nada do, Anda tidak harus menggoyangkan angklung Anda jika perangkat yang Anda pegang ternyatabernada re. Seorang bawahan harus memahami aturan main sebagai bawahan, atau sebaliknya. Jika Anda nekad juga, tatanan organisasi dipastikan akan rusak. Harmoni akan buyar seluruhnya.

Dan kini, tahukah Anda berapa harga sebuah angklung? Tentu saja, Anda tidak akan pernah berhasil menebaknya sepanjang Anda hanya mampu mengkalkulasinya dalam jumlah uang. Karena sesungguhnya, di balik kegembiraan kita memainkan angklung, tersimpan kisah tentang bulir-bulir keringat para lelaki tua nun di pedusunan, tersimpan cerita tentang kerja keras. Di balik harmoni musik angklung, terselip pelajaran tentang kepekaan rasa, kerjasama, kesetaraan peran dan kontribusi, keberbedaan yang membangun kekuatan kebersamaan.Pelajaran yang – tentu saja – lebih berharga dari sekadar segepok uang, atau sejumlah kalkulasi untung-rugi lainnya.***

Catatan:
Gambar diambil dari sini dan sini

MEMUNGUT KATA

Memasuki lift, keraguanku menggumpal
: sungguhkah kata itu yang kau temukan?

Terusung ke lantai 19, tak kurasakan getar
Tapi di hati, ada siluet gempa yang nyaris pecah
Segala ketenteraman begitu jauh dari jangkauan
Para pemberi petitih, entah di mana ia dekap hangatnya

Aku membaca angka-angka setiap lantai
dengan hati yang aneh. Dan sembilan kepala yang
menyesaki lift menerjemahkannya
Dengan tubuh mengarca

Pagi ini segalanya memang tampak berbeda dan asing
Keluar dari lift, gigil telah merambati ulu hati
: Sungguhkah kata itu yang kau temukan?

NAPAK TILAS



SEPERTI film yang diputar ulang, kejadian itu selalu berulang: suara benturan keras yang memekakkan telinga, teriakan histeris, percik api, pecahan kaca, bau hangus dan amis, derap kaki berlarian, jeritan tangis, rintihan pilu. Semua berlangsung begitu cepat.

Di tengah histeria itu, instingnya menuntunnya ke suatu tempat, dan menemukan wajah yang dicarinya. Terjepit di antara gerbong – dengan tubuh mengarca, bersimbah darah.

Detik berikutnya, hanya gelap-pekat menghunjam. Ia ingin melolong, menampik kenyataan. Tapi suaranya tercekat. Tubuhnya lunglai. Hanya ada suara yang mendengung, memusar di atas kepalanya. “Saya akan datang dengan kereta paling awal. Jemput saya di stasiun ...,” suara itu menggema, membentur-bentur dinding kamar.

Berbulan-bulan, mimpi buruk itu meracau tidurnya. Ia selalu terbangun dengan peluh di sekujur tubuh. Dengan nafas terengah. Dengan jiwa menggigil. Dengan isak yang tersekam.

***


Akhirnya, kereta api yang ditunggunya tiba. Menyembul dari jelaga, menyibak tirai hujan, merangsek memasuki peron seperti melata. Gemeretak rodanya yang beradu dengan rel seperti detak jantungnya yang bertalu. Ya, akhirnya keberanian itu datang juga. Malam ini, ia akan menapak tilas perjalanan mereka – seperti janjinya pada diri sendiri. Menggenapi perkabungan, setelah tiga tahun hanya sanggup mengais-ngais ketegaran. Ia berharap ini cara terakhir baginya untuk berdamai dengan takdir.

Diloncatinya pintu gerbong ketika kereta belum benar-benar berhenti. Di stasiun kecil ini, rasanya hanya ia satu-satunya penumpang gerbong ini. Mungkin semua penumpang naik di stasiun sebelumnya. Buktinya, nyaris seluruh kursi penuh. Kecuali yang di samping jendela kiri, empat deret dari pintu belakang. Sebuah kursi yang dia pesan khusus dengan bantuan seorang kenalan pamannya yang bekerja di jawatan kereta api.

Sesaat ia dibekap keraguan. Rasanya gerbong ini begitu tua dan kusam. Di sana-sini, catnya terkelupas. Joknya pucat. Besinya karatan. Masihkah layak pakai? Ia teringat mimpinya. “Tapi saya tak boleh mundur,” kesahnya. Digamitnya trolley bag, dan beringsut mendekati kursinya.

Melewati penumpang yang sebagian besar terlelap dan terkantuk-kantuk, ia kembali tenang. Mereka kebanyakan berusia lanjut, mengingatkannya pada kakek-neneknya. Penumpang yang bakal menjadi teman duduknya bahkan telah renta sekali. Jari-jemarinya gemetar menggenggam koran yang sudah menguning. Tapi ia masih terjaga, dan dengan santun memberikan jalan untuk duduk di kursi di sebelahnya, di samping jendela. Nenek tua itu mengangguk kecil.

“Dulu, dia yang duduk di kursi nenek ini!” ia membatin, tak kuasa membendung kenangan. Dia – seorang teman duduk yang sejak awal kehadirannya di kereta itu membuatnya menyesal sejadi-jadinya karena telah memutar haluan perjalanan. Kalau saja ia tak ke rumah bibinya. Kalau saja ia langsung pulang ke kampung halamannya, ia tidak perlu naik kereta. Meski ia memimpikannya.

Ia tidak mungkin lupa. Karena itu pengalaman pertamanya menumpang kereta api. Di tanah kelahirannya, ular besi itu tidak dikenal. Kecuali melalui cerita dan gambar. Ia menyulam fantasi jadi penumpang kereta api sejak balita – ketika mulai mengenal lagu ‘naik kereta api, tut ... tut... tut...’. Dan fantasi itu baru berakhir ketika ia sudah dewasa. Tapi, kenapa perjalanan mimpi ini harus dengan dia?

“Kamu pasti marah?” Itulah kalimat pertama lelaki itu. Kalimat yang dia lontarkan dengan sangat hati-hati setelah dua jam pertama perjalanan mereka saling berdiam diri.

Ia mendengar gemeretak hatinya, mendengar gemeretak roda yang terus berputar. Lampu gerbong yang redup menyulam keremangan, menyulam kesedihannya. Di luar jendela, langit sungguh pekat. Tidak ada bulan. Tidak ada neon yang berpendar lesi di sisi rel. Hanya hujan dan hujan. Persis badai yang merimbun di hatinya.

“Saya minta maaf. Saya pasti menyakiti kamu!”

Ya, ia sungguh tidak paham mengapa api permusuhan dikobarkan lelaki itu selama mereka mengikuti konvensi. Ia merinding membayangkannya. Sorot mata beku, suara yang sinis melukai, dan sikapnya yang pada banyak kesempatan seolah menganggapnya tidak pernah ada. Kesalahan apa yang dilakukannya? Ia datang karena diundang panitia. Kalaupun terlambat tiba di tempat dan harus melewatkan welcome dinner, apa pedulinya? Siapa yang memberi lelaki itu otoritas untuk mengecapnya sebagai peserta yang tidak memiliki kompetensi apa-apa dan karenanya layak untuk tidak diperhitungkan?

Ia mengenang, ia datang dari propinsi terjauh. Menumpang pesawat yang harus delay dua kali dalam dua kali penerbangan. Ketika muncul di breakfast hari pertama, empat puluh dua kepala menoleh. Karena ia hanya satu dari dua perempuan yang hadir sebagai peserta konvensi. Hanya dalam hitungan detik, semua peserta menyerbu mejanya, mengucapkan selamat datang, tersenyum lebar, dan mengulurkan tangan. Kecuali lelaki itu. Jangankan menyapa, dia bahkan memusuhinya selama tiga hari tiga malam – untuk sebuah alasan yang sama sekali tidak pernah diketahuinya. Dia tidak segan menghujaninya dengan komentar-komentar yang nyelekit, mengkonfrontir gagasannya ketika bicara di forum, atau bahkan menganggapnya tidak ada ketika ia hadir di kelompok kecil di mana lelaki itu juga bergabung. Sosok itu benar-benar membuatnya terasing, terpinggir tanpa daya, meluruhkan mental dan rasa percaya dirinya hingga titik paling nadir. Dan kini, lelaki itu duduk di sampingnya dalam sebuah perjalanan delapan jam! Tiba-tiba matanya memanas.

“Saya menyesal. Kalau saja kamu tahu, betapa sulit membencimu ...”

Ia nyaris terlonjak. Jadi, yang dilakukannya tiga hari selama konvensi itu apa? Bersandiwara? Tapi ia terlanjur sakit hati.

“Saya berharap dengan cara itu bisa melupakan masa lalu.”

Kini ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Ditatapnya lelaki itu dengan perasaan ganjil. “Kita baru saling mengenal tiga hari lalu ...,” di sampingnya, kaca jendela mengembun.

“Itulah masalahnya. Karena saya mengenalmu bertahun-tahun silam.”

Oh Tuhan, ia pasti sedang bertemu dengan orang sinting. Sesaat ia ingin memutuskan tidur, menutup telinga rapat-rapat.

Tetapi lelaki itu dengan sigap meraih tangannya, menghalangi niatnya. “Tolong kamu lihat dulu apa yang saya bawa. Setelah itu, kamu boleh tidur.” Dikeluarkannya sesuatu dari tas punggungnya. Sepertinya sebuah album foto.

Setengah memicing, ia memperhatikan album itu tanpa menyentuhnya. Lelaki itu menyorongkannya lebih dekat, meletakkan ke pangkuannya. Lalu menyalakan lampu handphone untuk mengalahkan remang. “Bukalah!”

Meski enggan, ia menurut juga. Dan sesaat kemudian terkesiap. Di halaman awal ia menemukan potret seraut wajah yang rasanya begitu familiar. Rupa itu ... mata, alis, hidung, mulut, pipi, dagu ... bagaimana mungkin? Diperhatikannya lebih seksama. Semakin ia menyimak, semakin ia gemetar. Serasa berkaca di cermin. Tapi ... itu jelas bukan dirinya. Memorinya masih demikian baik untuk menyatakan bahwa ia tidak pernah berpose seperti itu. Setting foto itu demikian asing. Busana yang dikenakan tidak pernah ada dalam koleksinya. Dan yang lebih penting, bagaimana mungkin ia bisa berpose sedemikian intim dengan lelaki asing di sampingnya?

“Ia meninggal di sungai dua tahun lalu,” suara itu bergetar getas. “Kami tengah rafting bersama. Tiba-tiba banjir bandang datang. ...,” lelaki itu mulai terisak. “Perahu kami terbalik. Ia terseret arus di depan mata-kepala saya sendiri. Saya tidak bisa menyelamatkannya. Saya tidak bisa menjaganya ....”

Matanya ikut merebak tak terbendung.

“Kejadian itu hanya dua bulan menjelang pernikahan kami. Saya ingin melupakan mimpi buruk itu. Tapi tiga hari lalu, tiba-tiba saya melihat ia hidup kembali ....”

“Mengapa kamu membencinya?”

“Sebuah mekanisme pertahanan diri. Saya bingung bagaimana harus menghadapinya. Saya melihat mata itu begitu menuntut, menyalahkan ....”

Kali ini ia terhenyak. Jiwanya berguncang. Di sampingnya, lelaki itu tergugu. Terkulai, terluka. Seperti usai mengikuti pertarungan yang berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Duh, perjalanan yang sungguh meletihkan. Dihelanya nafas. Diusapnya airmata diam-diam.

Di luar jendela, hujan masih terus menghablur. Suaranya seperti derap ribuan kaki kuda yang kesetanan berkejaran. Menyusupkan gigil kemana-mana. Ke telapak kaki hingga ubun-ubun. Ia bersidekap. Duduk mengeriut. Hatinya kuyup. Matanya perih dan berat.

Ia tidak tahu berapa lama ia terlelap. Namun ketika terbangun, ia mendapati dirinya dalam pelukan lelaki itu. “Kita sudah hampir sampai ...,” suara itu kini menenteramkan.

Mereka berkemas, dan berpisah ketika suhu udara mencapai titik terendah. Tanpa selarik kata. Tanpa lambaian tangan. Subuh belum sepenuhnya sempurna. Dengan arah berlawanan, mereka meninggalkan stasiun, menebar lengang ke udara.


***

Semalaman, ia nyaris tidak memicingkan mata, meski berkali-kali menguap. Ini adalah napak tilas – perjalanan akhir untuk mengenang lelaki itu. Ia sudah berjanji akan menghikmati setiap inci perputaran roda kereta. Menyesap semua kenangan, lalu merelakan semua ingatan perjalanan delapan jam itu lindap sepenuhnya ke masa silam. Setelah itu, ia berharap tidak ada lagi tangis dan mimpi buruk. Ia siap memulai lembaran hidupnya yang baru.

Ditariknya nafas. Di seberang jendela, jelaga masih abadi menggantung di udara. Hujan menderap tak henti-henti, mengirimkan gigil. Seharusnya ia kedinginan. Tapi entah kenapa, tubunya terasa hangat. Seperti ada yang meraihnya, membawanya dalam dekapan.

Sesaat ia akhirnya pulas juga. Hanya beberapa jenak. Menit berikutnya, ia tiba-tiba terjaga. Seperti ada yang membisikkan bahwa kereta yang ditumpanginya tiba di wilayah dimana kecelakaaan tiga tahun silam merenggut nyawa lelaki itu – beberapa kilometer menjelang stasiun terakhir. Wajah bersimbah darah itu seketika menghangat di pelupuk matanya. Membuat kepalanya berisik. Ya, mimpi buruk itu kembali menyelusup.

Mula-mula ia mendengar suara memusar di atas kepalanya. “Saya akan datang dengan kereta paling awal. Jemput saya di stasiun ....”

Suara itu berdentam, seperti lonceng di stasiun. Kemudian mengawang membentur langit-langit, menghantam dinding gerbong. Berderak-derak.

Wajahnya memias. Tubuhnya bergetar. Seluas pandangan, gerbong mendadak gulita – subuh masih terlalu dini. Lampu padam seluruhnya.

“Saya akan melamarmu!”

Jendela kaca terdengar mulai retak. Gerbong oleng ke kiri. Daun pintu terhempas.

“Katakan, dengan cara apa saya harus meyakinkanmu?”

Isaknya pecah. Jiwanya lara dalam keputus-asaan. Di tengah kegelapan, ia berusaha menatap sekeliling. Semua penumpang tampaknya tertidur pulas. Atau pingsan? Seketika ia panik.

Betapa ia ingin berteriak. Betapa ia ingin meminta maaf. Betapa ia ingin menjelaskan semuanya. Ia telah sia-sia mengoyak ingatan atas perjalanan delapan jam itu. Kini, tiap koyakan bahkan berubah jadi serpih kenangan yang membesar, dan terus membesar. Menyergapnya dari segala penjuru. Membungkus jiwanya.

“Nyaris setahun saya menunggu jawaban. Apa itu belum cukup?”

Isaknya kian membesar. Keningnya perih – rasanya terbentur. Atau tergores pecahan kaca? Hampir setahun ia membiarkan lelaki itu terkapar dalam penantian – hanya untuk meyakinkan diri bahwa ia bukan sekadar bayang-bayang almarhumah kekasih terdahulu lelaki itu.

“Saya mencintaimu. Sungguh-sungguh mencintaimu!” suara dari masa lalu itu terus mendengung.

Gesekan besi yang bersitahan menyemburkan ngilu panjang di sekujur tubuhnya. Dalam sepersekian detik, tiba-tiba kesadaran itu datang. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Ia kini tahu, ia tidak sedang bermimpi.

Dengan nafas tersengal, ia berupaya merangkak keluar dari tempat duduk. Melewati nenek renta yang tampaknya sudah terkulai. Jangan-jangan dia sudah tak bernyawa. Disentuhnya pipi kisut itu. Dingin sebeku es. Dengan panik diedarkannya pandangan ke penumpang lain. Demi Tuhan, apakah mereka juga bernasib sama? Tubuhnya seketika menggigil. Airmatanya membanjir.

Selangkah lagi ia akan mencapai bordes. Bersamaan dengan upayanya meraih bingkai pintu, ia mendengar bunyi dentaman keras. Ia terhuyung. Namun semua berlangsung begitu cepat – ia yang siap terhempas, dan seseorang yang menyambar tubuhnya. Masih dilihatnya gerbong itu terguling memercikkan api, sebelum kesadarannya hilang.

***


Ia urung membuka mata. Segaris cahaya matahari lebih awal menerobos jendela yang terkuak sedikit, membuatnya silau. Refleks, disentuhnya keningnya yang berasa perih. Seperti terbungkus perban.

“Syukurlah, kamu sudah siuman!” ia mengenal suara bibinya.

“Saya ...,” kesadarannya pulih. “Bagaimana nasib penumpang lain, Bi? Berapa jumlah korban?” Ia sulit menyembunyikan cemas. Matanya kini tak lagi mengatup.

“Korban?” Rupa di depannya menatap bingung.

“Ya, korban tabrakan kereta. Rasanya semua penumpang di gerbong saya meninggal ....”

“Astaga! Istighfar, sayang! Tidak ada kecelakaan kereta. Kamu pingsan di stasiun. Mungkin sejak tiba semalam. Petugas stasiun membawamu ke rumah sakit ....”

“Saya menggunakan kereta paling awal,” ia menukas tak sabar. “Seharusnya kami tiba subuh tadi ....”

“Semua kereta tertunda masuk stasiun sejak jam dua malam. Dua puluh kilometer sebelum stasiun, terjadi longsor, rel amblas ....”

Sulit dipercaya! Diraihnya remote control TV, berharap ada breaking news. Tapi nyaris semua stasiun TV menayangkan infotainment. Hanya ada running text di bagian bawah layar yang membenarkan keterangan bibinya.

Dengan penasaran membuncah, disambarnya tas cangklongnya. Diloloskannya seluruh isinya di atas seprei. Tiket pesawat dan boarding pass ketika ia berangkat, masih ada dan belum terlihat lusuh. Tertanggal kemarin, jam 09.10 pagi. Lalu potongan tiket kereta api untuk pulang – perjalanan mengubur trauma, juga tertera tanggal kemarin. Berangkat jam 20.00 malam, dan sedianya akan tiba di stasiun jam 04.00 subuh ini. Tapi, kecelakaan maut itu ....

“Untung kamu ganti kereta dan berangkat lebih awal,” bibinya kini berdiri di samping tempat tidurnya, ikut memperhatikan potongan tiket di tangannya. “Kalau nggak, kamu pasti masih tertahan menunggu perbaikan rel.”

Ia ingin menukas: lantas ia menumpang kereta yang mana? Tapi pita suaranya mendadak kelu. Ia kini berjuang mengumpulkan ingatan atas kejadian semalam hingga dini hari tadi – ketika ia meloncat memasuki gerbong tua yang kusam dengan perasaan ganjil dan mendapati penumpang yang seluruhnya telah renta. Lalu ... hai, bukankah para penumpang itu terdiam dan tertidur sepanjang perjalanan? Atau, jangan-jangan, mereka memang tidak pernah bangun?

Dan, mimpi buruk itu, tabrakan maut, seseorang yang menyambar tubuhnya ...? Demi Tuhan! Mulutnya ternganga ketika menyadari dan mengingat percik api yang sekilas menerangi wajah dewa penolongnya. Lelaki itu! Bukankah dia ...?

“Bibi!?” Tubuhnya bergetar hebat dalam peluh. Jemarinya beku. Dahinya yang luka terasa makin perih. “Dia ... dia datang. Dia menyelamatkan saya ...,” ia mendesis meracau sembari bangkit dari tempat tidur. Wajahnya seputih seprei. Ia melangkah limbung, dan kemudian jatuh pingsan.

Bibinya menyeru tertahan. Di layar televisi, pembaca berita mengumumkan longsor di kilometer 20 masih terus berlangsung. ***


Kota Wisata, 24 Desember 2006

Catatan : Gambar diambil dari sini

KURNIA

BULAN Mei lalu, saya memenuhi undangan peluncuran buku – sebuah kumpulan cerpen karya Kurnia Effendi – di Teater Utan Kayu, Jakarta. Hadir membaca cerpen, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Cornelia Agatha, dan Alex Komang. Tapi bukan sosok 3 seniman dan pegiat film ini yang menjadi magnet bagi saya. Kurnia sendiri jauh lebih menarik. Ia adalah magma – paduan antara talenta, kepekaan, dan konsistensi.

Delapan tahun silam, saya pernah tergoda dengan pertanyaan: ketika semua yang kita dengar, lihat, dan rasakan berhak untuk ditulis, apa yang terjadi? Dan bagi seorang Kurnia yang penulis, jawabannya adalah Menulis Seribu Puisi (“dan Seratus Cerpen”, imbuhnya dua tahun lalu). "Mereka berhak dilahirkan sebagai sebuah tulisan. Perkara belakangan apakah ia bisa digolongkan sebagai puisi atau sekadar 'puisi`, itu persoalan lain!" katanya.Barangkali karena kesadaran untuk tidak mengaborsi gagasan itu, Kurnia - tanpa tedeng aling-aling menerima `tantangan' saya. Saat itu, 29 Juli 1996, paruh malam waktu Makassar. Berdua, kami menelusuri pantai Losari menuju benteng Fort Rotterdam. Denyut kehidupan laut yang inspiratif membidani kelahiran sejumlah kalimat puitik dari mulut Kurnia -- kelak diabadikan dalam puisi Pantai Losari 1 sampai 5. Saya menangkap dan menggagasnya dalam suatu 'proyek' yang disanggupi Kurnia: "Akan kutulis 1000 puisi hingga akhir tahun nanti," janjinya.

Maka, 30 Juli 1996, mulailah hari-hari menakjubkan itu. Jarak bukan menjadi penghalang untuk merendengi dan membaca seorang Kurnia Effendi. Di bawah tekanan waktu, kesibukan kantor, dan mobilitas seorang pekerja yang luar biasa (Kurnia bekerja di sebuah perusahaan cukup terpandang di Jakarta), ia secara teratur mengirim paket-paket puisi yang dibuat selama sepekan. Paket Seribu Puisi menjelma menjadi sebuah catatan harian tentang obsesi, rasa sakit, luka, keriangan, mimpi, religi, dan absurditas seorang Kurnia. Seribu Puisi menjadi agenda utuh yang menceritakan kegiatannya -- inci demi inci -- sebagai seorang ayah, suami, penyair, desainer grafis sebuah perusahaan otomotif nasional, seorang warga Jakarta, makhluk sosial, dan salah seorang hamba Allah. Seribu puisi menjadi kenangan bagi sejumlah nama-nama -- yang dalam istilah Kurnia di antologi tunggalnya Kartunama Putih (1997), telah menimbulkan keterharuan yang sangat dalam sehingga 'memaksanya' untuk menulis dan menulis puisi. Seribu Puisi juga menjadi catatan perjalanan yang lengkap mengenai sejumlah tempat di berbagai kota negeri ini. Lewat Seribu Puisi ini pun Kurnia mencoba ikut menjadi saksi - yang semoga tidak korup - bagi sejumlah peristiwa politis bersejarah di muka bumi.

Dalam paket-paket puisi itu, betapa Kurnia sebetulnya kerap'melanggar' komitmen kami untuk tidak menulis kurang dari tujuh puisi setiap harinya. Dengan sejumlah alasan, ia – misalnya – meminta pemakluman bagi `kelalaiannya' yang hanya mampu melahirkan sebuah puisi sehari atau bahkan tidak sama sekali. Tapi Kurnia pun bisa dengan lugas menyatakan pembelaan dengan menjelaskan bagaimana sebuah proses kreatif bisa berlangsung saat ia menelurkan lebih dari lima puluh puisi hanya dalam tempo kurang dari 24 jam. "Tugas saya hanya menulis," katanya. "Bukan menghitung bilangan 1 hingga 1000.

"Bagaimana hal itu bisa terjadi? Berubahkah puisi menjadi suatu produk pabrikan, massafikasi? Tidakkah Kurnia membutuhkan waktu untuk suatu fermentase berpikir kreatif sebagaimana layaknya seorang penyair?

"Dunia berubah demikian cepat," ujarnya saat saya menemuinya kembali di sela-sela kesibukan Mimbar Penyair Abad 21 di TIM, November 1996. Teknologi canggih, sambungnya, setiap saat menjejalkan informasi yang memaksa benak kita untuk mau mengolahnya - diminta atau tidak diminta. Kita tidak mungkin membiarkan kapasitas input otak kita jauh melebihi kapasitas outputnya. Ada yang harus dikeluarkan, ditumpahkan. Ini agar tetap tersedia ruang kosong guna menampung informasi baru berikutnya. "Kondisi ini pun, saya kira, mau tidak mau menuntut fermentase yang singkat bagi proses berpikir kita", ujarnya.

Saya bukan ahli atau pemerhati sastra. Saya hanya sahabat dari seorang Kurnia Effendi -- yang kebetulan menyukai puisi. Saya tidak memiliki kompetensi untuk memberikan penilaian tentang layak tidaknya puisi-puisi tersebut dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Meski saya tahu, Kurnia pun membutuhkan suatu pengingkaran – bahwa puisi-puisinya tidak sekadar menjadi pengisi laci saya. Karena itu, yang bisa saya lakukan waktu itu adalah mengingatkannya untuk mempublikasikan puisi-puisi yang telah ditulisnya. Maka, sejak Agustus 1996 itu, Seribu Puisi menghias sejumlah media cetak nasional -- baik yang terbit di Jakarta maupun yang terbit di daerah.

Bagi Kurnia, kenyataan itu mungkin melegakan karena bisa menjadi semacam legitimasi bahwa kerja kerasnya tidak sia-sia. Tapi bagi saya, fenomena ini sekaligus bisa menjelaskan hubungan antara talenta, kepekaan, dan konsistensi, yang melahirkan energi yang besar. Kurnia memang concern dengan keyakinannya. Kansistensinya melahirkan energi yang luar biasa, melampaui hal-hal yang mungkin bisa dianggap sebagai keniscayaan -- mengingat keseharian Kurnia tidak didekasikan sepenuhnya untuk dunia kepenyairan.

Kendati demikian, dengan keterbatasannya, Kurnia tidak mengingkari bahwa ada saat-saat tertentu ia merasa demikian `lelah'. Tapi ia tetap berupaya untuk jujur pada diri sendiri. Karena itu, ketika puisi-puisi yang ditulisnya pun hanya mencapai bilangan 990 pada pukul 00.00 WIB pada 31 Desember 1996 itu, Kurnia juga merasa tidak perlu memaksakan untuk menggenapkannya 1000 - sebagaimana komitmen awal.Meski tidak memiliki pretensi untuk sebuah rekor misalnya, bagi Kurnia, proyek ini tetap proyek Menulis Seribu Puisi. Semangatnya mengakumulasikan sejumlah energi baru yang terus membesar, dan membesar. Seperti bola salju ....

Dan kendati Seribu Puisi masih tersimpan di laci saya sebagai manuskrip bisu, Kurnia tidak terlalu perduli. Bulan kemarin, ia bahkan datang dengan undangan peluncuran buku, "Tugas saya hanya menulis," senyumnya.Ah, andai kita mau bercermin pada Kurnia.... ***

Thursday, March 29, 2007

SEPANJANG BRAGA

Ada tahun-tahun yang mengubah diri menjadi tangga
Setiap kali kita melangkah, setiap kali ia tengadah

(Sajak “Raka’at”, Kurnia Effendi, 2001)


SEMULA, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Atas nama cinta, tidak ada yang sulit untuk seorang Feliciano yang ditakdirkan menjadi kaya sejak dalam buaian. “Jika itu yang membuatmu bahagia,” bisiknya dalam bahasa Indonesia yang sempurna.

Masalah kita selesai? Ternyata tidak. Padahal, peristiwa itu lima tahun silam. Feliciano bahkan mungkin lupa bahwa seratus lukisan itu dulunya adalah sebuah maskawin. Ia bukan kolektor yang baik – meski ia berburu lukisan hingga ke seluruh penjuru angin dan mengoleksi sedikitnya satu dari lukisan para maestro. Ia lebih tepat disebut investor – adrenalinnya terpacu setiap kali mendengar kabar tentang lelang lukisan. Kecuali ... ya, kecuali menyangkut percakapan subuh itu.

“... aku ingin memamerkannya, honey!”

“Apa?” Ia terlonjak. Hanya sekejap. Setelah itu, pupil matanya yang kebiruan berpendar jenaka. “Sudah nggak cinta hingga maskawin saya mau ditawarkan?”

Aku memandangnya takjub. Ia ternyata ingat. Padahal, sepanjang lima tahun, Braga tidak pernah bergeming dari salah satu ruang di galeri kami. Diperbincangkan pun tidak. Seolah aku dan Feliciano sepakat bahwa lukisan itu sudah bercerita banyak lebih dari apa yang bisa kami bahasakan. Ia simbol pertautan hati kami.

Tapi, bukankah Feliciano selalu antusias mempersoalkan sejumlah dolar atau rupiah untuk sebuah lukisan? Siapa tahu selama ini ia hanya sungkan padaku.

“Pamerkan saja yang lain. Kamu tahu, Andrew berani menawar sangat tinggi untuk Affandi dan Arie Smith yang kita beli di Balindo tempo hari ...”

“Aku ...,” kerongkonganku panas. “Aku hanya bermaksud menandai lima tahun pernikahan kita. Bukan untuk dijual ....” Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual!

Sesaat ia terkesima. Tapi jenak berikutnya ia memelukku sembari bergumam. “Gimana jika ada yang menawar?” Jemarinya menyusup lembut ke rambutku. “Tapi, terserah kamu. Lukisan itu milikmu. Meskipun, buat aku, lukisan itu sungguh berarti....”

Aku menggigit bibir, terasa pahit. Sementara di luar, hujan menenggelamkan subuh. Melalui gordin yang tersingkap aku menyaksikan rimbun air menempel dan meluruh di kaca jendela. Aku menyurukkan kepala lebih dalam. Balik memeluknya erat. Di sudut mata, kurasakan ada sebutir embun tersesat.

***


Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Lalu, engkau akan kehilangan bentangan episode Braga. Risalah kita berakhir. Seperti buku yang terkatup rapat. Engkau kemudian akan menggoreskan lukisan baru bersama Chiara, dan aku menjemput impian hari esok bersama Feliciano.

Ternyata tidak sesederhana itu. Karena sejak peristiwa itu, hujan kenangan justru menderas di salah satu sudut galeri. Tempat itu hanya berjarak lima meter di seberang pandangan. Feliciano membangunnya – maksudku merenovasi dan memperluas galeri –hanya sebulan setelah kami menikah. Dan ia menata Sepanjang Braga pada ruangan terdekat dari kamar tidur kami – ruang yang terletak pada sudut kiri belakang dari keseluruhan ruang pamer – dengan sebidang dinding menghadap kamar yang sepenuhnya terbuat dari kaca.

“Aku ingin seratus lukisan itu bisa kamu nikmati kapan saja kamu mau,” tuturnya. Dan aku mendengar gemuruh di dadaku.

Ya, kenangan itu selamanya menderas. Feliciano – sesungguh cinta – mengembalikan jejak langkah kita ke dalam genangan hari lampau. Setiap kali menghikmati Braga, tanpa mampu kucegah, jiwaku mengapung, atau hanyut, bersijingkat, dan melompat-lompat. Menarikan luka. ... apakah aku terluka?

Entahlah. Hanya, aku selalu merasa ada getar batin yang selalu gagal kuurai. Siapa sesungguhnya kamu bagi jiwaku? Dan siapa Feliciano bagi hidupku? Apa begitu sulit membenamkan kenangan kita ke sarang waktu – menganggap Sepanjang Braga tidak lebih seperti lukisan-lukisan lain? Bukankah hari ini dan esok adalah milik Feliciano? Tidakkah hari kemarin cukup bagi kita berdua? Tidak ada yang salah dan keliru dalam diri lelaki Filiphina-Perancis yang kupilih sebagai pendamping hidupku itu. Ia mencintaiku sepenuh jiwa. Bukankah itu lebih dari cukup?

“Besok malam ada pembukaan pameran di Galeri Maxima. Ikut?”

Lihatlah, mata birunya senantiasa memancar hangat. Feliciano tahu persis kalau aku begitu mencintai lukisan.

“Pameran siapa?”

“Bambang Prasadhi.”

Dan kusambut dengan sukacita.

Tapi itu dulu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku menyadari ada hari dimana engkau menghilang dari komunitas pelukis. Mungkin sejak Sudjana Kerton memamerkan “Di Dalam Oplet” di Galeri Cemara, Agustus 2001 – pameran pertama yang kukunjungi setelah menikah dengan Feliciano. Atau bahkan sebelum itu.

Yang jelas, beribu hari setelah kesadaran itu, aku tidak bisa menahan diri. Meski bersama Feliciano, aku melakukan kembara diam-diam – mengais jejakmu. Nyaris tidak ada undangan pameran yang terabaikan. Dari Bentara Budaya ketika Nyoman Erawan menggelar “Pralaya” hingga Musium Bank Indonesia ketika CP Bienalle 2005 “Urban Culture” yang menghebohkan itu digelar. Barangkali saja wajahmu menyembul di antara rupa seniman, atau di antara pengunjung.

Tapi sia-sia. Jejakmu tak berbekas! Sampai perih mataku. Sampai perih jiwaku.

Apakah engkau sembunyi dalam basah luka? Hingga engkau tak lagi kuasa sekadar menghirup aroma cat ... “Aku hanya ingin memberi tahu bahwa Sepanjang Braga sudah menjadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak pernah menikah!” Itu rahasia yang kuungkap lebih dari lima tahun silam di hari terakhir pameranmu. Aku tahu, petugas galeri itu hanya bercerita: seorang warga asing memborong Sepanjang Braga di hari pertama pameran.

Tapi aku ... aku tidak pernah bermaksud memberangus jiwamu! Sedikit pun aku tidak pernah berharap bahwa engkau akan berhenti melukis setelah peristiwa itu. Bukankah kita pernah sepakat untuk tidak saling melukai? Bukankah ....

“Honey, sepertinya, pameranmu bisa terselenggara. Caesar Palace Bandung kosong pada hari yang kamu rencanakan.”

“Really?” Aku terlonjak.

Feliciano mengangguk. Aku memeluknya senang. Di belakang punggungnya, mataku berkabut.


***


Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memamerkannya kapan saja dan di mana saja – sesuka yang aku mau.

Mungkin aku keliru memilih tempat. Mengapa harus di Bandung? Mengapa pula harus di jalan Braga? Seolah aku sengaja membaringkan kenangan di ranjang keabadian.

“Lukisan ini sangat bagus,” seseorang – yang kukenal sebagai salah satu manager Caesar Palace – bergumam di sebelahku.

“Anda ... suka?” Lukisan yang hendak digantung itu nyaris terlepas dari tanganku. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium…. Jiwaku seketika gemetar.

“Harganya berapa ya, Bu?” Ia bertanya serius.

“Ngnng ...,” suaraku gelagapan. “Tidak dijual!”

Ia terperangah, setengah bingung. Sementara aku tiba-tiba merasa diserang migren. Apakah nanti setiap pengunjung bertanya demikian? Tidak ada price- list di katalog...

Dengan gugup, aku menyapu aula sekali pandang. Di sudut, Feliciano masih mengawasi penataan lukisan sembari berbincang dengan kurator kami. Masih tersisa banyak waktu sebelum pameran dibuka. Tiba-tiba aku ingin lari .... “Aku lapar, mau cari camilan,” dan Feliciano mengangguk tersenyum.

Dan, di sinilah aku – memelihara gelisah. Di Braga Permai. Di salah satu pojok kafe. Hanya ditemani segelas orange juice dan sepotong tiramisu. Alangkah sepi. Serupa kesepian yang menghantu Braga di ujung malam. Ketika kita memuaskan pertemuan terakhir – berabad silam, dan keloneng becak yang melintas tinggal sayup-sayup.

Di luar kafe, sore makin menyusut. Menyadari gerimis turun lagi, aku merapatkan scarf. Tapi udara yang dingin mengendapkan gigil di batin. Aku meremas tisyu, menghalau gelisah. Entah kenapa, bagiku, rinai hujan selalu menghantar rahasia pengembaraan. Tiba-tiba saja kudengar langkahmu dari masa lalu. Mengetuk-ngetuk trotoar sepanjang Braga, dari ujung ke ujung. Tanpa jemu. Seolah tak akan ada lagi malam di Braga sesudah itu. “Jangan pulang dulu. Tinggallah di Bandung sehari lagi ...,”suaramu yang bergetar mengiris sunyi.

“Aku janji, aku akan datang lagi ....”

Apakah kini engkau juga akan datang? Kuusap mataku.

“Sepertinya ibu menunggu seseorang?!”

“Aku ...,” jiwaku terkesiap.

Di depanku, pelayan kafe berdiri takzim.

“Ada yang mencariku?” Semangatku memijar.

“Belum ....”

Kutarik nafas. Mataku kini tak sekadar hangat, tapi perih.

“Ia mungkin tidak jadi datang ....”

“Mungkin sebentar lagi,” ia berusaha menghibur. “Minumnya mau ditambah?”

“Ng ... tidak. Terima kasih,” aku berkemas.

Apakah kenangan itu kini tak bernama? Sementara seluruh episode Braga – episode cinta yang tak pernah sampai – tengah utuh mengisahkan diri di Caesar Palace.

Jika engkau pemilik sejati Braga, akankah engkau datang? Bukankah aku telah memanggilmu? Melalui pengumuman di suratkabar. Melalui wawancara di televisi. Mustahil kamu tidak mendengarnya. Kecuali jika kini kamu buta dan tuli.

***


Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memperlakukannya – sesuka yang aku mau. Termasuk melelangnya!

Tapi, apakah harus setergesa ini? Meski engkau tak datang, aku belum seputus asa yang kau bayangkan. Aku masih menyimpan harapan.

Tapi, lukisan itu ... Ya, Allah! Apa yang terjadi? Setengah tak percaya, kupandangi Sepanjang Braga satu demi satu. Semua telah diberi tanda bulatan merah – sold. Tanpa kecuali. Duniaku seketika runtuh. Siapa yang memborongnya? Apakah engkau balas dendam?

Seperti kesetanan, aku terbang mencari Feliciano.

“Braga ...,” bahuku beguncang hebat. Perasaanku terburai. “Kenapa aku nggak diberitahu?” Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual! Tangisku jebol.

Feliciano meloncat dari tempat tidur. Direngkuhnya tubuh ringkihku. “Aku terpaksa melakukannya...”

Aku mencari matanya. “Siapa pembelinya?” Bibirku bergetar.

Diusapnya rambutku. “Aku!”

“Apa?” Rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya.

“Sejak pembukaan pameran, banyak sekali peminatnya. Aku sampai lelah ...,” diacaknya rambutku. “Aku tidak ingin kehilangan lukisan itu. Jadi kuberi bulatan merah saja semuanya....”

Mulutku ternganga. Dari jendela hotel, aku menyaksikan hujan kembali menderas mengguyur Bandung.***



Kota Wisata, 3 Juni 2006

Friday, March 9, 2007

BELASUNGKAWA

CUACA masih mengirimkan gigil menusuk, ketika saya tergugu di ruang ICU sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Timur. Telah banyak yang berangkat diam-diam dari tempat ini. Tapi dinihari ini berbeda. Karena yang berangkat, ayah saya. Beliau wafat pada Senin 3 Januari2005 – melengkapi perkabungan setelah berhari-hari saya menyimpan isak di depan layar televisi tiap kali menyaksikan tanah Serambi Mekkah.

Seperti apa rasanya berkabung? Tidak semua orang bisa menjelaskannya secara persis. Setiap orang me-manage kesedihan dan rasa kehilangannya dengan cara berbeda. Intensitas perasaan berduka tidak ditentukan seberapa dekat hubungan kekerabatan kita dengan jasad yang terbaring, atau seberapa besar jumlah anggota keluarga yang pergi untuk terakhir kali. Karena itu, rasa kehilangan saya dan rasa kehilangan yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh, tidak bisa diperbandingkan.

Kendati demikian, perkabungan tetap perkabungan. Ia memiliki universalitas. Pada derajat tertentu, setiap orang yang berduka memiliki perasaan serupa: perasaan terbelah, perasaan limbung dan kehilangan. Mereka membutuhkan `ruang psikologis' yang cukup untuk `menikmati duka' dan kemudian memulihkan rasa limbung dan kehilangan. Mereka membutuhkan waktu untuk merekatkan kembaliperasaan yang terbelah itu. Dan untuk kebutuhan itu, mereka memerlukan dukungan `kerjasama' pihak luar agar merelakan `waktu dan ruang' milik bersama digunakan sementara untuk menyembuhkan luka.

Cukup empatikkah kita terhadap kebutuhan `waktu dan ruang' bagi orang-orang berkabung itu? Konon, sebagian kita sudah kehilangan empati.Kita sudah tidak mengenal bagaimana cara menunjukkan rasa solidaritas dan belasungkawa secara santun. Dalam menyikapi tragedi Aceh,sementara negara tetangga kita memilih bersunyi-senyap menyambut malam pergantian tahun, sebagian warga Jakarta masih menggelar pestadan meniup terompet.

Sikap kurang empatik ini juga banyak ditunjukkan oleh perusahaan. Seolah berebut, mereka `mendompleng' kesedihan warga Aceh untuk kepentingan sendiri: melakukan `upacara' pemberian sumbangan dankemudian mengiklankannya ke berbagai media; membuka dompet peduli untuk orang-orang di luar lingkup perusahaannya – lengkap dengan brosur dan leaflet yang dipajang di mana-mana, memasang iklan dukacita berpuluh hari di koran dan televisi, mengunjungi Aceh sekadar untuk merekam gambar demi kepentingan publikasi (dengan mengurangi jatah penerbangan para relawan), dan seterusnya. Semua atas nama kepedulian, atas nama corporate social responsibility.

Memang, di satu pihak, perusahaan dituntut tidak semata memikirkan keuntungan bisnis. Manajemen perusahaan juga harus digugah agar memiliki kepekaan atas masalah-masalah sosial di lingkungannya.Perusahaan yang berhasil, tidak semata diukur dari keberhasilan secara ekonomi. Tapi juga sosial. Namun demikian, tetap saja, untuk hal-hal yang berbau tanggung jawab sosial, ukuran kepatutan dan nurani menjadi pertimbangan penting. Pertanyaan retrospektif –seperti apa rasanya berkabung? bagaimana jika saya berada dalam posisi yang sama? – perlu senantiasa dikedepankan.

Seperti layaknya manusia yang dituntut untuk berbuat amal sebanyak-banyaknya, perusahaan pun perlu mengusung kebaikan dan menciptakan manfaat seluas-luasnya bagi lingkungannya. Bukan agar dicatat malaikat sebagai amalan. Semata-mata karena perusahaan membutuhkan citra positif untuk kelangsungan usaha.Namun demikian, image building sendiri tidak melulu lahir dari sebuah rekayasa. Citra positif akan lebih baik lahir sebagai akibat, bukan tujuan. Ia terbentuk sebagai resultante sebuah `proses komunikasi perusahaan yang berbudaya', konsekuensi logis dari bentuk-bentuk kegiatan yang mencerminkan komunikasi yang santun. Jika Anda merasa terpanggil untuk memberikan bantuan, lakukan dengan cara-cara yang elegan. Komunikasikan dengan ukuran, intensitas, dan frekuensi yang proporsional. Anda bisa mengusung agenda image building – karena memang inilah sasaran tanggung jawab sosial perusahaan, namun lakukantanpa harus melukai perasaan masyarakat yang tengah berkabung.

Saya masih mengingat dengan baik. Pagi, saat ayah saya disemayamkan –saat kami hanya mampu menahan isak dan tidak sempat memikirkan urusan perut dan cara menjamu tamu dan kerabat yang datang; seseorang hadir melalui pintu dapur. Ia datang bagai angin –hanya dalam bilangan detik, mengantarkan beberapa kardus air mineral dalam kemasan gelas plastik, dan sejumlah kotak lainnya berisi penganan. Saya hanya sempat menyampaikan terima kasih, tanpa kemampuan untuk mengingat dengan baik nama pemilik wajah empatik itu. Namun berhari-hari kemudian, wajah itu sangat lekat dan hidup dalam benak saya.Menyeruak di antara wajah-wajah pengirim karangan bunga yang mengalirdalam dua hari masa berkabung kami. Sosok memorable itu meninggalkan pelajaran sederhana: ia mengajari saya menyampaikan rasa belasungkawa dengan cara – yang tidak saja santun, tapi juga menyentuh.***

Thursday, March 1, 2007

DONGENG KANCIL DAN BUAYA

kita tidak pernah berencana mengekalkan kenangan
dengan menjadi kancil dan buaya dalam dongeng si upik
karena kancil kini tak lagi cerdik
buaya-buaya memangsanya di mall, di kafe, di hotel, di mana saja

“pada suatu hari, ada seekor kancil …”
di sampingnya engkau melata, menjilati telinganya
dengan bibir yang liar, sepanas nafas demonstran
sementara jemarimu menari di antara irama salsa, wangi bvlgari,
piala anggur, dan sepotong brownis

“kita ciptakan mahkluk baru, berbasis kancil dan buaya …”
janjimu mengusung semangat orasi di depan jelata
seperti semilir AC yang memelihara mimpi agar tetap jaga
di sudut ruang, sepasang boneka barbie demikian gemerisik tawanya

kita tidak pernah berencana mengekalkan kenangan
bukankah si upik lebih mengabadikan donald duck?
“buaya tidak ingin kehilangan kancil …, “ katamu berulang-ulang
juga ketika mencumbu kancil-kancil lain yang tak lagi cerdik
karena selamanya engkau tidak akan pernah bermetamorfosis
bahkan ketika mengenakan topeng kancil pejantan sekalipun