SAYA tengah jatuh cinta kepada alat musik tradisional bernama angklung. Kebetulan Mas Dicky – salah seorang sahabat menghadiahi saya seperangkat alat tersebut. Di setiap kesempatan luang di rumah,saya berusaha memainkannya – dalam suasana iseng atau serius(meskipun nggak mahir-mahir juga!). Diam-diam, saya juga suka memperhatikan alat yang dibuat dari bilah bambu tersebut. Bentuknya sebetulnya tidak istimewa. Terkesan bahkan sangat sederhana. Hanya potongan bambu yang dihubungkan secara vertikal dan horizontal. Tapi,sungguh, membetot perhatian. Termasuk suami saya yang biasanya lebih asyik dengan palet cat dan kanvas. Dia bolak-balik memotret angklung tersebut – dari pelbagai sudut. Dan harus saya akui, hasilnya jepretannya sangat artistik. Layaknya ia mengayunkan kuas di atas kanvas. Saking jatuh cintanya saya kepada angklung, saya menggunakannya sebagai ikon dalam banyak media publikasi perusahaan saya tahun ini (untungnya manajemen tidak keberatan!).
Aneh sebenarnya. Karena ini bukan kali pertama saya melihat angklung.Beberapa kali saya sempat memergoki alat tradisionil ini dimainkan ditengah konser musik, di antara perangkat musik yang hampir seluruhnya diusung dari belahan dunia barat – sebuah kolaborasi yang unik. Dulu,ketika saya kecil, meski saya tidak mendapatkan pelajaran bermain angklung di sekolah – seperti ponakan saya saat ini, tapi saya nyaris tiap pekan menyaksikan permainan alat ini di TVRI.
Piranti bambu ini memang diakrabi beberapa kelompok masyarakat kita – sebut etnis Minahasa atau Sunda.Tapi kini saya melihat angklung dengan perasaan berbeda. Barangkali karena inilah pertama kali saya memiliki kesempatan untuk menyentuh,mencermati, dan memainkannya sendiri. Di telinga saya, alat ini tidak sekadar mengeluarkan nada. Tapi juga sebuah bunyi yang bahkan melampaui sejumlah nada yang bisa dirumuskan dalam sebuah notasi.Seperti desau yang menyeruak dari tengah belantara. Atau, reriungan angin yang meniti lereng gunung dan lembah. Seperti kerisik daun bambu yang runcing menjuntai bertautan disentuh angin kemarau yangbergegas lewat.
Lalu, seperti mengalami deja vu, saya menghirup kembali aroma masa kecil ketika saya masih sering berlibur ke pelosok. Mencium bau tanah basah, rumput, dan ternak. Menyaksikan bahu-bahu legam lelaki tua yang mengusung potongan bilah-bilah bambu di sepanjang jalan pedusunan. Mengamati dengan awas tangan-tangan cermat berpeluh menyerut, menghaluskan tepiannya, mengikat dengan kuat agar mudah dipegang dan tak melukai tangan, merancangnya dengan cermat agar mengeluarkan nada yang tidak sumbang dan keliru.
Dan di sinilah jerih payah itu berujung – setelah diangkut banyak kendaraan dan melewati banyak pasar dan penawaran. Ia hadir di salah satu sudut rumah saya. Juga di sebuah hotel berbintang terkemuka di Jakarta. Di ballroom hotel itu pulalah saya dibuat terkesima.Ternyata angklung itu bisa dimainkan ribuan orang secara bersamaan –dari direktur hingga office boy, dari yang mampu membaca notasi hingga mereka yang buta sama sekali tentang musik. Perangkat itu dengan mudah dimainkan oleh seluruh yang hadir dalam perayaan harijadi perusahaan saya. Dimainkan dengan sepenuh kegembiraan, sepenuh jiwa, tanpa nada sumbang. " Hanya angklung yang bisa dimainkan seperti ini. Coba bayangkan kalau ribuan orang bermain piano semua,atau gitar semua," bisik teman saya.
Dan saya membenarkan. Lagi pula, tidak ada seorang gitaris yang hanya memainkan satu nada. Dan tidak sebuah gitar atau piano pun yang nadanya dapat dipecah-pecah dan kemudian setiap nada dimainkan orang yang berbeda. Tapi angklung bisa. Ribuan orang di aula besar itu bermain angklung secara bersama-sama, dengan bekal satu nada berbedadi tangan masing-masing.Angklung adalah simbol kebersamaan, sebuah harmoni yang lahir dari keberbedaan.
Kunci keberhasilan permainan massal angklung terletak pada ketaaatan atas aturan main. Di bawah arahan seorang konduktor,sejumlah nada diinstruksikan untuk dimainkan hanya dengan bantuan isyarat gerakan jari dan kepal tangan – sehingga setiap pemain dengan mudah menerjemahkan isyarat itu sebagai satu nada. Sebuah bentuk komunikasi, yang menurut saya, sangat sederhana.
Karena itu, di mata saya, permainan angklung mengajarkan banyak hal.Bahkan untuk kita yang sehari-hari tenggelam dalam rutinitas kantor.Seorang direktur atau pemimpin perusahaan misalnya, sebetulnya bisa menggerakkan anggota organisasi membentuk harmoni: menjadi teamwork yang solid hanya dengan menggunakan bahasa sederhana – bahasa yang dipahami oleh semua anggota organisasi. Pemimpin yang baik juga adalah pemimpin yang mampu menciptakan aturan main yang bisa menggerakkan karyawan tanpa kecuali -- bahkan untuk mereka yang kita anggap tidak memiliki kompetensi apa pun. Harmoni angklung mensyaratkan pentingnya menaati aturan main, mensyaratkan kesadaran tentang pentingnya peran dan tanggung jawab masing-masing.
Sekali waktu konduktor mengisyaratkan nada do, Anda tidak harus menggoyangkan angklung Anda jika perangkat yang Anda pegang ternyatabernada re. Seorang bawahan harus memahami aturan main sebagai bawahan, atau sebaliknya. Jika Anda nekad juga, tatanan organisasi dipastikan akan rusak. Harmoni akan buyar seluruhnya.
Dan kini, tahukah Anda berapa harga sebuah angklung? Tentu saja, Anda tidak akan pernah berhasil menebaknya sepanjang Anda hanya mampu mengkalkulasinya dalam jumlah uang. Karena sesungguhnya, di balik kegembiraan kita memainkan angklung, tersimpan kisah tentang bulir-bulir keringat para lelaki tua nun di pedusunan, tersimpan cerita tentang kerja keras. Di balik harmoni musik angklung, terselip pelajaran tentang kepekaan rasa, kerjasama, kesetaraan peran dan kontribusi, keberbedaan yang membangun kekuatan kebersamaan.Pelajaran yang – tentu saja – lebih berharga dari sekadar segepok uang, atau sejumlah kalkulasi untung-rugi lainnya.***
Catatan:
Aneh sebenarnya. Karena ini bukan kali pertama saya melihat angklung.Beberapa kali saya sempat memergoki alat tradisionil ini dimainkan ditengah konser musik, di antara perangkat musik yang hampir seluruhnya diusung dari belahan dunia barat – sebuah kolaborasi yang unik. Dulu,ketika saya kecil, meski saya tidak mendapatkan pelajaran bermain angklung di sekolah – seperti ponakan saya saat ini, tapi saya nyaris tiap pekan menyaksikan permainan alat ini di TVRI.
Piranti bambu ini memang diakrabi beberapa kelompok masyarakat kita – sebut etnis Minahasa atau Sunda.Tapi kini saya melihat angklung dengan perasaan berbeda. Barangkali karena inilah pertama kali saya memiliki kesempatan untuk menyentuh,mencermati, dan memainkannya sendiri. Di telinga saya, alat ini tidak sekadar mengeluarkan nada. Tapi juga sebuah bunyi yang bahkan melampaui sejumlah nada yang bisa dirumuskan dalam sebuah notasi.Seperti desau yang menyeruak dari tengah belantara. Atau, reriungan angin yang meniti lereng gunung dan lembah. Seperti kerisik daun bambu yang runcing menjuntai bertautan disentuh angin kemarau yangbergegas lewat.
Lalu, seperti mengalami deja vu, saya menghirup kembali aroma masa kecil ketika saya masih sering berlibur ke pelosok. Mencium bau tanah basah, rumput, dan ternak. Menyaksikan bahu-bahu legam lelaki tua yang mengusung potongan bilah-bilah bambu di sepanjang jalan pedusunan. Mengamati dengan awas tangan-tangan cermat berpeluh menyerut, menghaluskan tepiannya, mengikat dengan kuat agar mudah dipegang dan tak melukai tangan, merancangnya dengan cermat agar mengeluarkan nada yang tidak sumbang dan keliru.
Dan di sinilah jerih payah itu berujung – setelah diangkut banyak kendaraan dan melewati banyak pasar dan penawaran. Ia hadir di salah satu sudut rumah saya. Juga di sebuah hotel berbintang terkemuka di Jakarta. Di ballroom hotel itu pulalah saya dibuat terkesima.Ternyata angklung itu bisa dimainkan ribuan orang secara bersamaan –dari direktur hingga office boy, dari yang mampu membaca notasi hingga mereka yang buta sama sekali tentang musik. Perangkat itu dengan mudah dimainkan oleh seluruh yang hadir dalam perayaan harijadi perusahaan saya. Dimainkan dengan sepenuh kegembiraan, sepenuh jiwa, tanpa nada sumbang. " Hanya angklung yang bisa dimainkan seperti ini. Coba bayangkan kalau ribuan orang bermain piano semua,atau gitar semua," bisik teman saya.
Dan saya membenarkan. Lagi pula, tidak ada seorang gitaris yang hanya memainkan satu nada. Dan tidak sebuah gitar atau piano pun yang nadanya dapat dipecah-pecah dan kemudian setiap nada dimainkan orang yang berbeda. Tapi angklung bisa. Ribuan orang di aula besar itu bermain angklung secara bersama-sama, dengan bekal satu nada berbedadi tangan masing-masing.Angklung adalah simbol kebersamaan, sebuah harmoni yang lahir dari keberbedaan.
Kunci keberhasilan permainan massal angklung terletak pada ketaaatan atas aturan main. Di bawah arahan seorang konduktor,sejumlah nada diinstruksikan untuk dimainkan hanya dengan bantuan isyarat gerakan jari dan kepal tangan – sehingga setiap pemain dengan mudah menerjemahkan isyarat itu sebagai satu nada. Sebuah bentuk komunikasi, yang menurut saya, sangat sederhana.
Karena itu, di mata saya, permainan angklung mengajarkan banyak hal.Bahkan untuk kita yang sehari-hari tenggelam dalam rutinitas kantor.Seorang direktur atau pemimpin perusahaan misalnya, sebetulnya bisa menggerakkan anggota organisasi membentuk harmoni: menjadi teamwork yang solid hanya dengan menggunakan bahasa sederhana – bahasa yang dipahami oleh semua anggota organisasi. Pemimpin yang baik juga adalah pemimpin yang mampu menciptakan aturan main yang bisa menggerakkan karyawan tanpa kecuali -- bahkan untuk mereka yang kita anggap tidak memiliki kompetensi apa pun. Harmoni angklung mensyaratkan pentingnya menaati aturan main, mensyaratkan kesadaran tentang pentingnya peran dan tanggung jawab masing-masing.
Sekali waktu konduktor mengisyaratkan nada do, Anda tidak harus menggoyangkan angklung Anda jika perangkat yang Anda pegang ternyatabernada re. Seorang bawahan harus memahami aturan main sebagai bawahan, atau sebaliknya. Jika Anda nekad juga, tatanan organisasi dipastikan akan rusak. Harmoni akan buyar seluruhnya.
Dan kini, tahukah Anda berapa harga sebuah angklung? Tentu saja, Anda tidak akan pernah berhasil menebaknya sepanjang Anda hanya mampu mengkalkulasinya dalam jumlah uang. Karena sesungguhnya, di balik kegembiraan kita memainkan angklung, tersimpan kisah tentang bulir-bulir keringat para lelaki tua nun di pedusunan, tersimpan cerita tentang kerja keras. Di balik harmoni musik angklung, terselip pelajaran tentang kepekaan rasa, kerjasama, kesetaraan peran dan kontribusi, keberbedaan yang membangun kekuatan kebersamaan.Pelajaran yang – tentu saja – lebih berharga dari sekadar segepok uang, atau sejumlah kalkulasi untung-rugi lainnya.***
Catatan: