Friday, March 9, 2007

BELASUNGKAWA

CUACA masih mengirimkan gigil menusuk, ketika saya tergugu di ruang ICU sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Timur. Telah banyak yang berangkat diam-diam dari tempat ini. Tapi dinihari ini berbeda. Karena yang berangkat, ayah saya. Beliau wafat pada Senin 3 Januari2005 – melengkapi perkabungan setelah berhari-hari saya menyimpan isak di depan layar televisi tiap kali menyaksikan tanah Serambi Mekkah.

Seperti apa rasanya berkabung? Tidak semua orang bisa menjelaskannya secara persis. Setiap orang me-manage kesedihan dan rasa kehilangannya dengan cara berbeda. Intensitas perasaan berduka tidak ditentukan seberapa dekat hubungan kekerabatan kita dengan jasad yang terbaring, atau seberapa besar jumlah anggota keluarga yang pergi untuk terakhir kali. Karena itu, rasa kehilangan saya dan rasa kehilangan yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh, tidak bisa diperbandingkan.

Kendati demikian, perkabungan tetap perkabungan. Ia memiliki universalitas. Pada derajat tertentu, setiap orang yang berduka memiliki perasaan serupa: perasaan terbelah, perasaan limbung dan kehilangan. Mereka membutuhkan `ruang psikologis' yang cukup untuk `menikmati duka' dan kemudian memulihkan rasa limbung dan kehilangan. Mereka membutuhkan waktu untuk merekatkan kembaliperasaan yang terbelah itu. Dan untuk kebutuhan itu, mereka memerlukan dukungan `kerjasama' pihak luar agar merelakan `waktu dan ruang' milik bersama digunakan sementara untuk menyembuhkan luka.

Cukup empatikkah kita terhadap kebutuhan `waktu dan ruang' bagi orang-orang berkabung itu? Konon, sebagian kita sudah kehilangan empati.Kita sudah tidak mengenal bagaimana cara menunjukkan rasa solidaritas dan belasungkawa secara santun. Dalam menyikapi tragedi Aceh,sementara negara tetangga kita memilih bersunyi-senyap menyambut malam pergantian tahun, sebagian warga Jakarta masih menggelar pestadan meniup terompet.

Sikap kurang empatik ini juga banyak ditunjukkan oleh perusahaan. Seolah berebut, mereka `mendompleng' kesedihan warga Aceh untuk kepentingan sendiri: melakukan `upacara' pemberian sumbangan dankemudian mengiklankannya ke berbagai media; membuka dompet peduli untuk orang-orang di luar lingkup perusahaannya – lengkap dengan brosur dan leaflet yang dipajang di mana-mana, memasang iklan dukacita berpuluh hari di koran dan televisi, mengunjungi Aceh sekadar untuk merekam gambar demi kepentingan publikasi (dengan mengurangi jatah penerbangan para relawan), dan seterusnya. Semua atas nama kepedulian, atas nama corporate social responsibility.

Memang, di satu pihak, perusahaan dituntut tidak semata memikirkan keuntungan bisnis. Manajemen perusahaan juga harus digugah agar memiliki kepekaan atas masalah-masalah sosial di lingkungannya.Perusahaan yang berhasil, tidak semata diukur dari keberhasilan secara ekonomi. Tapi juga sosial. Namun demikian, tetap saja, untuk hal-hal yang berbau tanggung jawab sosial, ukuran kepatutan dan nurani menjadi pertimbangan penting. Pertanyaan retrospektif –seperti apa rasanya berkabung? bagaimana jika saya berada dalam posisi yang sama? – perlu senantiasa dikedepankan.

Seperti layaknya manusia yang dituntut untuk berbuat amal sebanyak-banyaknya, perusahaan pun perlu mengusung kebaikan dan menciptakan manfaat seluas-luasnya bagi lingkungannya. Bukan agar dicatat malaikat sebagai amalan. Semata-mata karena perusahaan membutuhkan citra positif untuk kelangsungan usaha.Namun demikian, image building sendiri tidak melulu lahir dari sebuah rekayasa. Citra positif akan lebih baik lahir sebagai akibat, bukan tujuan. Ia terbentuk sebagai resultante sebuah `proses komunikasi perusahaan yang berbudaya', konsekuensi logis dari bentuk-bentuk kegiatan yang mencerminkan komunikasi yang santun. Jika Anda merasa terpanggil untuk memberikan bantuan, lakukan dengan cara-cara yang elegan. Komunikasikan dengan ukuran, intensitas, dan frekuensi yang proporsional. Anda bisa mengusung agenda image building – karena memang inilah sasaran tanggung jawab sosial perusahaan, namun lakukantanpa harus melukai perasaan masyarakat yang tengah berkabung.

Saya masih mengingat dengan baik. Pagi, saat ayah saya disemayamkan –saat kami hanya mampu menahan isak dan tidak sempat memikirkan urusan perut dan cara menjamu tamu dan kerabat yang datang; seseorang hadir melalui pintu dapur. Ia datang bagai angin –hanya dalam bilangan detik, mengantarkan beberapa kardus air mineral dalam kemasan gelas plastik, dan sejumlah kotak lainnya berisi penganan. Saya hanya sempat menyampaikan terima kasih, tanpa kemampuan untuk mengingat dengan baik nama pemilik wajah empatik itu. Namun berhari-hari kemudian, wajah itu sangat lekat dan hidup dalam benak saya.Menyeruak di antara wajah-wajah pengirim karangan bunga yang mengalirdalam dua hari masa berkabung kami. Sosok memorable itu meninggalkan pelajaran sederhana: ia mengajari saya menyampaikan rasa belasungkawa dengan cara – yang tidak saja santun, tapi juga menyentuh.***

No comments: