Thursday, March 29, 2007

SEPANJANG BRAGA

Ada tahun-tahun yang mengubah diri menjadi tangga
Setiap kali kita melangkah, setiap kali ia tengadah

(Sajak “Raka’at”, Kurnia Effendi, 2001)


SEMULA, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Atas nama cinta, tidak ada yang sulit untuk seorang Feliciano yang ditakdirkan menjadi kaya sejak dalam buaian. “Jika itu yang membuatmu bahagia,” bisiknya dalam bahasa Indonesia yang sempurna.

Masalah kita selesai? Ternyata tidak. Padahal, peristiwa itu lima tahun silam. Feliciano bahkan mungkin lupa bahwa seratus lukisan itu dulunya adalah sebuah maskawin. Ia bukan kolektor yang baik – meski ia berburu lukisan hingga ke seluruh penjuru angin dan mengoleksi sedikitnya satu dari lukisan para maestro. Ia lebih tepat disebut investor – adrenalinnya terpacu setiap kali mendengar kabar tentang lelang lukisan. Kecuali ... ya, kecuali menyangkut percakapan subuh itu.

“... aku ingin memamerkannya, honey!”

“Apa?” Ia terlonjak. Hanya sekejap. Setelah itu, pupil matanya yang kebiruan berpendar jenaka. “Sudah nggak cinta hingga maskawin saya mau ditawarkan?”

Aku memandangnya takjub. Ia ternyata ingat. Padahal, sepanjang lima tahun, Braga tidak pernah bergeming dari salah satu ruang di galeri kami. Diperbincangkan pun tidak. Seolah aku dan Feliciano sepakat bahwa lukisan itu sudah bercerita banyak lebih dari apa yang bisa kami bahasakan. Ia simbol pertautan hati kami.

Tapi, bukankah Feliciano selalu antusias mempersoalkan sejumlah dolar atau rupiah untuk sebuah lukisan? Siapa tahu selama ini ia hanya sungkan padaku.

“Pamerkan saja yang lain. Kamu tahu, Andrew berani menawar sangat tinggi untuk Affandi dan Arie Smith yang kita beli di Balindo tempo hari ...”

“Aku ...,” kerongkonganku panas. “Aku hanya bermaksud menandai lima tahun pernikahan kita. Bukan untuk dijual ....” Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual!

Sesaat ia terkesima. Tapi jenak berikutnya ia memelukku sembari bergumam. “Gimana jika ada yang menawar?” Jemarinya menyusup lembut ke rambutku. “Tapi, terserah kamu. Lukisan itu milikmu. Meskipun, buat aku, lukisan itu sungguh berarti....”

Aku menggigit bibir, terasa pahit. Sementara di luar, hujan menenggelamkan subuh. Melalui gordin yang tersingkap aku menyaksikan rimbun air menempel dan meluruh di kaca jendela. Aku menyurukkan kepala lebih dalam. Balik memeluknya erat. Di sudut mata, kurasakan ada sebutir embun tersesat.

***


Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Lalu, engkau akan kehilangan bentangan episode Braga. Risalah kita berakhir. Seperti buku yang terkatup rapat. Engkau kemudian akan menggoreskan lukisan baru bersama Chiara, dan aku menjemput impian hari esok bersama Feliciano.

Ternyata tidak sesederhana itu. Karena sejak peristiwa itu, hujan kenangan justru menderas di salah satu sudut galeri. Tempat itu hanya berjarak lima meter di seberang pandangan. Feliciano membangunnya – maksudku merenovasi dan memperluas galeri –hanya sebulan setelah kami menikah. Dan ia menata Sepanjang Braga pada ruangan terdekat dari kamar tidur kami – ruang yang terletak pada sudut kiri belakang dari keseluruhan ruang pamer – dengan sebidang dinding menghadap kamar yang sepenuhnya terbuat dari kaca.

“Aku ingin seratus lukisan itu bisa kamu nikmati kapan saja kamu mau,” tuturnya. Dan aku mendengar gemuruh di dadaku.

Ya, kenangan itu selamanya menderas. Feliciano – sesungguh cinta – mengembalikan jejak langkah kita ke dalam genangan hari lampau. Setiap kali menghikmati Braga, tanpa mampu kucegah, jiwaku mengapung, atau hanyut, bersijingkat, dan melompat-lompat. Menarikan luka. ... apakah aku terluka?

Entahlah. Hanya, aku selalu merasa ada getar batin yang selalu gagal kuurai. Siapa sesungguhnya kamu bagi jiwaku? Dan siapa Feliciano bagi hidupku? Apa begitu sulit membenamkan kenangan kita ke sarang waktu – menganggap Sepanjang Braga tidak lebih seperti lukisan-lukisan lain? Bukankah hari ini dan esok adalah milik Feliciano? Tidakkah hari kemarin cukup bagi kita berdua? Tidak ada yang salah dan keliru dalam diri lelaki Filiphina-Perancis yang kupilih sebagai pendamping hidupku itu. Ia mencintaiku sepenuh jiwa. Bukankah itu lebih dari cukup?

“Besok malam ada pembukaan pameran di Galeri Maxima. Ikut?”

Lihatlah, mata birunya senantiasa memancar hangat. Feliciano tahu persis kalau aku begitu mencintai lukisan.

“Pameran siapa?”

“Bambang Prasadhi.”

Dan kusambut dengan sukacita.

Tapi itu dulu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba aku menyadari ada hari dimana engkau menghilang dari komunitas pelukis. Mungkin sejak Sudjana Kerton memamerkan “Di Dalam Oplet” di Galeri Cemara, Agustus 2001 – pameran pertama yang kukunjungi setelah menikah dengan Feliciano. Atau bahkan sebelum itu.

Yang jelas, beribu hari setelah kesadaran itu, aku tidak bisa menahan diri. Meski bersama Feliciano, aku melakukan kembara diam-diam – mengais jejakmu. Nyaris tidak ada undangan pameran yang terabaikan. Dari Bentara Budaya ketika Nyoman Erawan menggelar “Pralaya” hingga Musium Bank Indonesia ketika CP Bienalle 2005 “Urban Culture” yang menghebohkan itu digelar. Barangkali saja wajahmu menyembul di antara rupa seniman, atau di antara pengunjung.

Tapi sia-sia. Jejakmu tak berbekas! Sampai perih mataku. Sampai perih jiwaku.

Apakah engkau sembunyi dalam basah luka? Hingga engkau tak lagi kuasa sekadar menghirup aroma cat ... “Aku hanya ingin memberi tahu bahwa Sepanjang Braga sudah menjadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai maskawin, atau kami tidak pernah menikah!” Itu rahasia yang kuungkap lebih dari lima tahun silam di hari terakhir pameranmu. Aku tahu, petugas galeri itu hanya bercerita: seorang warga asing memborong Sepanjang Braga di hari pertama pameran.

Tapi aku ... aku tidak pernah bermaksud memberangus jiwamu! Sedikit pun aku tidak pernah berharap bahwa engkau akan berhenti melukis setelah peristiwa itu. Bukankah kita pernah sepakat untuk tidak saling melukai? Bukankah ....

“Honey, sepertinya, pameranmu bisa terselenggara. Caesar Palace Bandung kosong pada hari yang kamu rencanakan.”

“Really?” Aku terlonjak.

Feliciano mengangguk. Aku memeluknya senang. Di belakang punggungnya, mataku berkabut.


***


Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memamerkannya kapan saja dan di mana saja – sesuka yang aku mau.

Mungkin aku keliru memilih tempat. Mengapa harus di Bandung? Mengapa pula harus di jalan Braga? Seolah aku sengaja membaringkan kenangan di ranjang keabadian.

“Lukisan ini sangat bagus,” seseorang – yang kukenal sebagai salah satu manager Caesar Palace – bergumam di sebelahku.

“Anda ... suka?” Lukisan yang hendak digantung itu nyaris terlepas dari tanganku. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium…. Jiwaku seketika gemetar.

“Harganya berapa ya, Bu?” Ia bertanya serius.

“Ngnng ...,” suaraku gelagapan. “Tidak dijual!”

Ia terperangah, setengah bingung. Sementara aku tiba-tiba merasa diserang migren. Apakah nanti setiap pengunjung bertanya demikian? Tidak ada price- list di katalog...

Dengan gugup, aku menyapu aula sekali pandang. Di sudut, Feliciano masih mengawasi penataan lukisan sembari berbincang dengan kurator kami. Masih tersisa banyak waktu sebelum pameran dibuka. Tiba-tiba aku ingin lari .... “Aku lapar, mau cari camilan,” dan Feliciano mengangguk tersenyum.

Dan, di sinilah aku – memelihara gelisah. Di Braga Permai. Di salah satu pojok kafe. Hanya ditemani segelas orange juice dan sepotong tiramisu. Alangkah sepi. Serupa kesepian yang menghantu Braga di ujung malam. Ketika kita memuaskan pertemuan terakhir – berabad silam, dan keloneng becak yang melintas tinggal sayup-sayup.

Di luar kafe, sore makin menyusut. Menyadari gerimis turun lagi, aku merapatkan scarf. Tapi udara yang dingin mengendapkan gigil di batin. Aku meremas tisyu, menghalau gelisah. Entah kenapa, bagiku, rinai hujan selalu menghantar rahasia pengembaraan. Tiba-tiba saja kudengar langkahmu dari masa lalu. Mengetuk-ngetuk trotoar sepanjang Braga, dari ujung ke ujung. Tanpa jemu. Seolah tak akan ada lagi malam di Braga sesudah itu. “Jangan pulang dulu. Tinggallah di Bandung sehari lagi ...,”suaramu yang bergetar mengiris sunyi.

“Aku janji, aku akan datang lagi ....”

Apakah kini engkau juga akan datang? Kuusap mataku.

“Sepertinya ibu menunggu seseorang?!”

“Aku ...,” jiwaku terkesiap.

Di depanku, pelayan kafe berdiri takzim.

“Ada yang mencariku?” Semangatku memijar.

“Belum ....”

Kutarik nafas. Mataku kini tak sekadar hangat, tapi perih.

“Ia mungkin tidak jadi datang ....”

“Mungkin sebentar lagi,” ia berusaha menghibur. “Minumnya mau ditambah?”

“Ng ... tidak. Terima kasih,” aku berkemas.

Apakah kenangan itu kini tak bernama? Sementara seluruh episode Braga – episode cinta yang tak pernah sampai – tengah utuh mengisahkan diri di Caesar Palace.

Jika engkau pemilik sejati Braga, akankah engkau datang? Bukankah aku telah memanggilmu? Melalui pengumuman di suratkabar. Melalui wawancara di televisi. Mustahil kamu tidak mendengarnya. Kecuali jika kini kamu buta dan tuli.

***


Semula, pikiranku sangat sederhana. Seratus lukisan Sepanjang Braga yang dipamerkan di Galeri Soemardja itu aku minta dipindahkan ke galeri keluargaku. Dan karena kini ia milikku, aku bebas memperlakukannya – sesuka yang aku mau. Termasuk melelangnya!

Tapi, apakah harus setergesa ini? Meski engkau tak datang, aku belum seputus asa yang kau bayangkan. Aku masih menyimpan harapan.

Tapi, lukisan itu ... Ya, Allah! Apa yang terjadi? Setengah tak percaya, kupandangi Sepanjang Braga satu demi satu. Semua telah diberi tanda bulatan merah – sold. Tanpa kecuali. Duniaku seketika runtuh. Siapa yang memborongnya? Apakah engkau balas dendam?

Seperti kesetanan, aku terbang mencari Feliciano.

“Braga ...,” bahuku beguncang hebat. Perasaanku terburai. “Kenapa aku nggak diberitahu?” Apapun yang terjadi, lukisan itu tidak akan pernah kujual! Tangisku jebol.

Feliciano meloncat dari tempat tidur. Direngkuhnya tubuh ringkihku. “Aku terpaksa melakukannya...”

Aku mencari matanya. “Siapa pembelinya?” Bibirku bergetar.

Diusapnya rambutku. “Aku!”

“Apa?” Rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya.

“Sejak pembukaan pameran, banyak sekali peminatnya. Aku sampai lelah ...,” diacaknya rambutku. “Aku tidak ingin kehilangan lukisan itu. Jadi kuberi bulatan merah saja semuanya....”

Mulutku ternganga. Dari jendela hotel, aku menyaksikan hujan kembali menderas mengguyur Bandung.***



Kota Wisata, 3 Juni 2006

No comments: