Friday, March 30, 2007

KURNIA

BULAN Mei lalu, saya memenuhi undangan peluncuran buku – sebuah kumpulan cerpen karya Kurnia Effendi – di Teater Utan Kayu, Jakarta. Hadir membaca cerpen, antara lain Slamet Rahardjo Djarot, Cornelia Agatha, dan Alex Komang. Tapi bukan sosok 3 seniman dan pegiat film ini yang menjadi magnet bagi saya. Kurnia sendiri jauh lebih menarik. Ia adalah magma – paduan antara talenta, kepekaan, dan konsistensi.

Delapan tahun silam, saya pernah tergoda dengan pertanyaan: ketika semua yang kita dengar, lihat, dan rasakan berhak untuk ditulis, apa yang terjadi? Dan bagi seorang Kurnia yang penulis, jawabannya adalah Menulis Seribu Puisi (“dan Seratus Cerpen”, imbuhnya dua tahun lalu). "Mereka berhak dilahirkan sebagai sebuah tulisan. Perkara belakangan apakah ia bisa digolongkan sebagai puisi atau sekadar 'puisi`, itu persoalan lain!" katanya.Barangkali karena kesadaran untuk tidak mengaborsi gagasan itu, Kurnia - tanpa tedeng aling-aling menerima `tantangan' saya. Saat itu, 29 Juli 1996, paruh malam waktu Makassar. Berdua, kami menelusuri pantai Losari menuju benteng Fort Rotterdam. Denyut kehidupan laut yang inspiratif membidani kelahiran sejumlah kalimat puitik dari mulut Kurnia -- kelak diabadikan dalam puisi Pantai Losari 1 sampai 5. Saya menangkap dan menggagasnya dalam suatu 'proyek' yang disanggupi Kurnia: "Akan kutulis 1000 puisi hingga akhir tahun nanti," janjinya.

Maka, 30 Juli 1996, mulailah hari-hari menakjubkan itu. Jarak bukan menjadi penghalang untuk merendengi dan membaca seorang Kurnia Effendi. Di bawah tekanan waktu, kesibukan kantor, dan mobilitas seorang pekerja yang luar biasa (Kurnia bekerja di sebuah perusahaan cukup terpandang di Jakarta), ia secara teratur mengirim paket-paket puisi yang dibuat selama sepekan. Paket Seribu Puisi menjelma menjadi sebuah catatan harian tentang obsesi, rasa sakit, luka, keriangan, mimpi, religi, dan absurditas seorang Kurnia. Seribu Puisi menjadi agenda utuh yang menceritakan kegiatannya -- inci demi inci -- sebagai seorang ayah, suami, penyair, desainer grafis sebuah perusahaan otomotif nasional, seorang warga Jakarta, makhluk sosial, dan salah seorang hamba Allah. Seribu puisi menjadi kenangan bagi sejumlah nama-nama -- yang dalam istilah Kurnia di antologi tunggalnya Kartunama Putih (1997), telah menimbulkan keterharuan yang sangat dalam sehingga 'memaksanya' untuk menulis dan menulis puisi. Seribu Puisi juga menjadi catatan perjalanan yang lengkap mengenai sejumlah tempat di berbagai kota negeri ini. Lewat Seribu Puisi ini pun Kurnia mencoba ikut menjadi saksi - yang semoga tidak korup - bagi sejumlah peristiwa politis bersejarah di muka bumi.

Dalam paket-paket puisi itu, betapa Kurnia sebetulnya kerap'melanggar' komitmen kami untuk tidak menulis kurang dari tujuh puisi setiap harinya. Dengan sejumlah alasan, ia – misalnya – meminta pemakluman bagi `kelalaiannya' yang hanya mampu melahirkan sebuah puisi sehari atau bahkan tidak sama sekali. Tapi Kurnia pun bisa dengan lugas menyatakan pembelaan dengan menjelaskan bagaimana sebuah proses kreatif bisa berlangsung saat ia menelurkan lebih dari lima puluh puisi hanya dalam tempo kurang dari 24 jam. "Tugas saya hanya menulis," katanya. "Bukan menghitung bilangan 1 hingga 1000.

"Bagaimana hal itu bisa terjadi? Berubahkah puisi menjadi suatu produk pabrikan, massafikasi? Tidakkah Kurnia membutuhkan waktu untuk suatu fermentase berpikir kreatif sebagaimana layaknya seorang penyair?

"Dunia berubah demikian cepat," ujarnya saat saya menemuinya kembali di sela-sela kesibukan Mimbar Penyair Abad 21 di TIM, November 1996. Teknologi canggih, sambungnya, setiap saat menjejalkan informasi yang memaksa benak kita untuk mau mengolahnya - diminta atau tidak diminta. Kita tidak mungkin membiarkan kapasitas input otak kita jauh melebihi kapasitas outputnya. Ada yang harus dikeluarkan, ditumpahkan. Ini agar tetap tersedia ruang kosong guna menampung informasi baru berikutnya. "Kondisi ini pun, saya kira, mau tidak mau menuntut fermentase yang singkat bagi proses berpikir kita", ujarnya.

Saya bukan ahli atau pemerhati sastra. Saya hanya sahabat dari seorang Kurnia Effendi -- yang kebetulan menyukai puisi. Saya tidak memiliki kompetensi untuk memberikan penilaian tentang layak tidaknya puisi-puisi tersebut dikategorikan sebagai sebuah karya sastra. Meski saya tahu, Kurnia pun membutuhkan suatu pengingkaran – bahwa puisi-puisinya tidak sekadar menjadi pengisi laci saya. Karena itu, yang bisa saya lakukan waktu itu adalah mengingatkannya untuk mempublikasikan puisi-puisi yang telah ditulisnya. Maka, sejak Agustus 1996 itu, Seribu Puisi menghias sejumlah media cetak nasional -- baik yang terbit di Jakarta maupun yang terbit di daerah.

Bagi Kurnia, kenyataan itu mungkin melegakan karena bisa menjadi semacam legitimasi bahwa kerja kerasnya tidak sia-sia. Tapi bagi saya, fenomena ini sekaligus bisa menjelaskan hubungan antara talenta, kepekaan, dan konsistensi, yang melahirkan energi yang besar. Kurnia memang concern dengan keyakinannya. Kansistensinya melahirkan energi yang luar biasa, melampaui hal-hal yang mungkin bisa dianggap sebagai keniscayaan -- mengingat keseharian Kurnia tidak didekasikan sepenuhnya untuk dunia kepenyairan.

Kendati demikian, dengan keterbatasannya, Kurnia tidak mengingkari bahwa ada saat-saat tertentu ia merasa demikian `lelah'. Tapi ia tetap berupaya untuk jujur pada diri sendiri. Karena itu, ketika puisi-puisi yang ditulisnya pun hanya mencapai bilangan 990 pada pukul 00.00 WIB pada 31 Desember 1996 itu, Kurnia juga merasa tidak perlu memaksakan untuk menggenapkannya 1000 - sebagaimana komitmen awal.Meski tidak memiliki pretensi untuk sebuah rekor misalnya, bagi Kurnia, proyek ini tetap proyek Menulis Seribu Puisi. Semangatnya mengakumulasikan sejumlah energi baru yang terus membesar, dan membesar. Seperti bola salju ....

Dan kendati Seribu Puisi masih tersimpan di laci saya sebagai manuskrip bisu, Kurnia tidak terlalu perduli. Bulan kemarin, ia bahkan datang dengan undangan peluncuran buku, "Tugas saya hanya menulis," senyumnya.Ah, andai kita mau bercermin pada Kurnia.... ***

No comments: