Friday, March 30, 2007

NAPAK TILAS



SEPERTI film yang diputar ulang, kejadian itu selalu berulang: suara benturan keras yang memekakkan telinga, teriakan histeris, percik api, pecahan kaca, bau hangus dan amis, derap kaki berlarian, jeritan tangis, rintihan pilu. Semua berlangsung begitu cepat.

Di tengah histeria itu, instingnya menuntunnya ke suatu tempat, dan menemukan wajah yang dicarinya. Terjepit di antara gerbong – dengan tubuh mengarca, bersimbah darah.

Detik berikutnya, hanya gelap-pekat menghunjam. Ia ingin melolong, menampik kenyataan. Tapi suaranya tercekat. Tubuhnya lunglai. Hanya ada suara yang mendengung, memusar di atas kepalanya. “Saya akan datang dengan kereta paling awal. Jemput saya di stasiun ...,” suara itu menggema, membentur-bentur dinding kamar.

Berbulan-bulan, mimpi buruk itu meracau tidurnya. Ia selalu terbangun dengan peluh di sekujur tubuh. Dengan nafas terengah. Dengan jiwa menggigil. Dengan isak yang tersekam.

***


Akhirnya, kereta api yang ditunggunya tiba. Menyembul dari jelaga, menyibak tirai hujan, merangsek memasuki peron seperti melata. Gemeretak rodanya yang beradu dengan rel seperti detak jantungnya yang bertalu. Ya, akhirnya keberanian itu datang juga. Malam ini, ia akan menapak tilas perjalanan mereka – seperti janjinya pada diri sendiri. Menggenapi perkabungan, setelah tiga tahun hanya sanggup mengais-ngais ketegaran. Ia berharap ini cara terakhir baginya untuk berdamai dengan takdir.

Diloncatinya pintu gerbong ketika kereta belum benar-benar berhenti. Di stasiun kecil ini, rasanya hanya ia satu-satunya penumpang gerbong ini. Mungkin semua penumpang naik di stasiun sebelumnya. Buktinya, nyaris seluruh kursi penuh. Kecuali yang di samping jendela kiri, empat deret dari pintu belakang. Sebuah kursi yang dia pesan khusus dengan bantuan seorang kenalan pamannya yang bekerja di jawatan kereta api.

Sesaat ia dibekap keraguan. Rasanya gerbong ini begitu tua dan kusam. Di sana-sini, catnya terkelupas. Joknya pucat. Besinya karatan. Masihkah layak pakai? Ia teringat mimpinya. “Tapi saya tak boleh mundur,” kesahnya. Digamitnya trolley bag, dan beringsut mendekati kursinya.

Melewati penumpang yang sebagian besar terlelap dan terkantuk-kantuk, ia kembali tenang. Mereka kebanyakan berusia lanjut, mengingatkannya pada kakek-neneknya. Penumpang yang bakal menjadi teman duduknya bahkan telah renta sekali. Jari-jemarinya gemetar menggenggam koran yang sudah menguning. Tapi ia masih terjaga, dan dengan santun memberikan jalan untuk duduk di kursi di sebelahnya, di samping jendela. Nenek tua itu mengangguk kecil.

“Dulu, dia yang duduk di kursi nenek ini!” ia membatin, tak kuasa membendung kenangan. Dia – seorang teman duduk yang sejak awal kehadirannya di kereta itu membuatnya menyesal sejadi-jadinya karena telah memutar haluan perjalanan. Kalau saja ia tak ke rumah bibinya. Kalau saja ia langsung pulang ke kampung halamannya, ia tidak perlu naik kereta. Meski ia memimpikannya.

Ia tidak mungkin lupa. Karena itu pengalaman pertamanya menumpang kereta api. Di tanah kelahirannya, ular besi itu tidak dikenal. Kecuali melalui cerita dan gambar. Ia menyulam fantasi jadi penumpang kereta api sejak balita – ketika mulai mengenal lagu ‘naik kereta api, tut ... tut... tut...’. Dan fantasi itu baru berakhir ketika ia sudah dewasa. Tapi, kenapa perjalanan mimpi ini harus dengan dia?

“Kamu pasti marah?” Itulah kalimat pertama lelaki itu. Kalimat yang dia lontarkan dengan sangat hati-hati setelah dua jam pertama perjalanan mereka saling berdiam diri.

Ia mendengar gemeretak hatinya, mendengar gemeretak roda yang terus berputar. Lampu gerbong yang redup menyulam keremangan, menyulam kesedihannya. Di luar jendela, langit sungguh pekat. Tidak ada bulan. Tidak ada neon yang berpendar lesi di sisi rel. Hanya hujan dan hujan. Persis badai yang merimbun di hatinya.

“Saya minta maaf. Saya pasti menyakiti kamu!”

Ya, ia sungguh tidak paham mengapa api permusuhan dikobarkan lelaki itu selama mereka mengikuti konvensi. Ia merinding membayangkannya. Sorot mata beku, suara yang sinis melukai, dan sikapnya yang pada banyak kesempatan seolah menganggapnya tidak pernah ada. Kesalahan apa yang dilakukannya? Ia datang karena diundang panitia. Kalaupun terlambat tiba di tempat dan harus melewatkan welcome dinner, apa pedulinya? Siapa yang memberi lelaki itu otoritas untuk mengecapnya sebagai peserta yang tidak memiliki kompetensi apa-apa dan karenanya layak untuk tidak diperhitungkan?

Ia mengenang, ia datang dari propinsi terjauh. Menumpang pesawat yang harus delay dua kali dalam dua kali penerbangan. Ketika muncul di breakfast hari pertama, empat puluh dua kepala menoleh. Karena ia hanya satu dari dua perempuan yang hadir sebagai peserta konvensi. Hanya dalam hitungan detik, semua peserta menyerbu mejanya, mengucapkan selamat datang, tersenyum lebar, dan mengulurkan tangan. Kecuali lelaki itu. Jangankan menyapa, dia bahkan memusuhinya selama tiga hari tiga malam – untuk sebuah alasan yang sama sekali tidak pernah diketahuinya. Dia tidak segan menghujaninya dengan komentar-komentar yang nyelekit, mengkonfrontir gagasannya ketika bicara di forum, atau bahkan menganggapnya tidak ada ketika ia hadir di kelompok kecil di mana lelaki itu juga bergabung. Sosok itu benar-benar membuatnya terasing, terpinggir tanpa daya, meluruhkan mental dan rasa percaya dirinya hingga titik paling nadir. Dan kini, lelaki itu duduk di sampingnya dalam sebuah perjalanan delapan jam! Tiba-tiba matanya memanas.

“Saya menyesal. Kalau saja kamu tahu, betapa sulit membencimu ...”

Ia nyaris terlonjak. Jadi, yang dilakukannya tiga hari selama konvensi itu apa? Bersandiwara? Tapi ia terlanjur sakit hati.

“Saya berharap dengan cara itu bisa melupakan masa lalu.”

Kini ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Ditatapnya lelaki itu dengan perasaan ganjil. “Kita baru saling mengenal tiga hari lalu ...,” di sampingnya, kaca jendela mengembun.

“Itulah masalahnya. Karena saya mengenalmu bertahun-tahun silam.”

Oh Tuhan, ia pasti sedang bertemu dengan orang sinting. Sesaat ia ingin memutuskan tidur, menutup telinga rapat-rapat.

Tetapi lelaki itu dengan sigap meraih tangannya, menghalangi niatnya. “Tolong kamu lihat dulu apa yang saya bawa. Setelah itu, kamu boleh tidur.” Dikeluarkannya sesuatu dari tas punggungnya. Sepertinya sebuah album foto.

Setengah memicing, ia memperhatikan album itu tanpa menyentuhnya. Lelaki itu menyorongkannya lebih dekat, meletakkan ke pangkuannya. Lalu menyalakan lampu handphone untuk mengalahkan remang. “Bukalah!”

Meski enggan, ia menurut juga. Dan sesaat kemudian terkesiap. Di halaman awal ia menemukan potret seraut wajah yang rasanya begitu familiar. Rupa itu ... mata, alis, hidung, mulut, pipi, dagu ... bagaimana mungkin? Diperhatikannya lebih seksama. Semakin ia menyimak, semakin ia gemetar. Serasa berkaca di cermin. Tapi ... itu jelas bukan dirinya. Memorinya masih demikian baik untuk menyatakan bahwa ia tidak pernah berpose seperti itu. Setting foto itu demikian asing. Busana yang dikenakan tidak pernah ada dalam koleksinya. Dan yang lebih penting, bagaimana mungkin ia bisa berpose sedemikian intim dengan lelaki asing di sampingnya?

“Ia meninggal di sungai dua tahun lalu,” suara itu bergetar getas. “Kami tengah rafting bersama. Tiba-tiba banjir bandang datang. ...,” lelaki itu mulai terisak. “Perahu kami terbalik. Ia terseret arus di depan mata-kepala saya sendiri. Saya tidak bisa menyelamatkannya. Saya tidak bisa menjaganya ....”

Matanya ikut merebak tak terbendung.

“Kejadian itu hanya dua bulan menjelang pernikahan kami. Saya ingin melupakan mimpi buruk itu. Tapi tiga hari lalu, tiba-tiba saya melihat ia hidup kembali ....”

“Mengapa kamu membencinya?”

“Sebuah mekanisme pertahanan diri. Saya bingung bagaimana harus menghadapinya. Saya melihat mata itu begitu menuntut, menyalahkan ....”

Kali ini ia terhenyak. Jiwanya berguncang. Di sampingnya, lelaki itu tergugu. Terkulai, terluka. Seperti usai mengikuti pertarungan yang berakhir dengan kekalahan di pihaknya. Duh, perjalanan yang sungguh meletihkan. Dihelanya nafas. Diusapnya airmata diam-diam.

Di luar jendela, hujan masih terus menghablur. Suaranya seperti derap ribuan kaki kuda yang kesetanan berkejaran. Menyusupkan gigil kemana-mana. Ke telapak kaki hingga ubun-ubun. Ia bersidekap. Duduk mengeriut. Hatinya kuyup. Matanya perih dan berat.

Ia tidak tahu berapa lama ia terlelap. Namun ketika terbangun, ia mendapati dirinya dalam pelukan lelaki itu. “Kita sudah hampir sampai ...,” suara itu kini menenteramkan.

Mereka berkemas, dan berpisah ketika suhu udara mencapai titik terendah. Tanpa selarik kata. Tanpa lambaian tangan. Subuh belum sepenuhnya sempurna. Dengan arah berlawanan, mereka meninggalkan stasiun, menebar lengang ke udara.


***

Semalaman, ia nyaris tidak memicingkan mata, meski berkali-kali menguap. Ini adalah napak tilas – perjalanan akhir untuk mengenang lelaki itu. Ia sudah berjanji akan menghikmati setiap inci perputaran roda kereta. Menyesap semua kenangan, lalu merelakan semua ingatan perjalanan delapan jam itu lindap sepenuhnya ke masa silam. Setelah itu, ia berharap tidak ada lagi tangis dan mimpi buruk. Ia siap memulai lembaran hidupnya yang baru.

Ditariknya nafas. Di seberang jendela, jelaga masih abadi menggantung di udara. Hujan menderap tak henti-henti, mengirimkan gigil. Seharusnya ia kedinginan. Tapi entah kenapa, tubunya terasa hangat. Seperti ada yang meraihnya, membawanya dalam dekapan.

Sesaat ia akhirnya pulas juga. Hanya beberapa jenak. Menit berikutnya, ia tiba-tiba terjaga. Seperti ada yang membisikkan bahwa kereta yang ditumpanginya tiba di wilayah dimana kecelakaaan tiga tahun silam merenggut nyawa lelaki itu – beberapa kilometer menjelang stasiun terakhir. Wajah bersimbah darah itu seketika menghangat di pelupuk matanya. Membuat kepalanya berisik. Ya, mimpi buruk itu kembali menyelusup.

Mula-mula ia mendengar suara memusar di atas kepalanya. “Saya akan datang dengan kereta paling awal. Jemput saya di stasiun ....”

Suara itu berdentam, seperti lonceng di stasiun. Kemudian mengawang membentur langit-langit, menghantam dinding gerbong. Berderak-derak.

Wajahnya memias. Tubuhnya bergetar. Seluas pandangan, gerbong mendadak gulita – subuh masih terlalu dini. Lampu padam seluruhnya.

“Saya akan melamarmu!”

Jendela kaca terdengar mulai retak. Gerbong oleng ke kiri. Daun pintu terhempas.

“Katakan, dengan cara apa saya harus meyakinkanmu?”

Isaknya pecah. Jiwanya lara dalam keputus-asaan. Di tengah kegelapan, ia berusaha menatap sekeliling. Semua penumpang tampaknya tertidur pulas. Atau pingsan? Seketika ia panik.

Betapa ia ingin berteriak. Betapa ia ingin meminta maaf. Betapa ia ingin menjelaskan semuanya. Ia telah sia-sia mengoyak ingatan atas perjalanan delapan jam itu. Kini, tiap koyakan bahkan berubah jadi serpih kenangan yang membesar, dan terus membesar. Menyergapnya dari segala penjuru. Membungkus jiwanya.

“Nyaris setahun saya menunggu jawaban. Apa itu belum cukup?”

Isaknya kian membesar. Keningnya perih – rasanya terbentur. Atau tergores pecahan kaca? Hampir setahun ia membiarkan lelaki itu terkapar dalam penantian – hanya untuk meyakinkan diri bahwa ia bukan sekadar bayang-bayang almarhumah kekasih terdahulu lelaki itu.

“Saya mencintaimu. Sungguh-sungguh mencintaimu!” suara dari masa lalu itu terus mendengung.

Gesekan besi yang bersitahan menyemburkan ngilu panjang di sekujur tubuhnya. Dalam sepersekian detik, tiba-tiba kesadaran itu datang. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Ia kini tahu, ia tidak sedang bermimpi.

Dengan nafas tersengal, ia berupaya merangkak keluar dari tempat duduk. Melewati nenek renta yang tampaknya sudah terkulai. Jangan-jangan dia sudah tak bernyawa. Disentuhnya pipi kisut itu. Dingin sebeku es. Dengan panik diedarkannya pandangan ke penumpang lain. Demi Tuhan, apakah mereka juga bernasib sama? Tubuhnya seketika menggigil. Airmatanya membanjir.

Selangkah lagi ia akan mencapai bordes. Bersamaan dengan upayanya meraih bingkai pintu, ia mendengar bunyi dentaman keras. Ia terhuyung. Namun semua berlangsung begitu cepat – ia yang siap terhempas, dan seseorang yang menyambar tubuhnya. Masih dilihatnya gerbong itu terguling memercikkan api, sebelum kesadarannya hilang.

***


Ia urung membuka mata. Segaris cahaya matahari lebih awal menerobos jendela yang terkuak sedikit, membuatnya silau. Refleks, disentuhnya keningnya yang berasa perih. Seperti terbungkus perban.

“Syukurlah, kamu sudah siuman!” ia mengenal suara bibinya.

“Saya ...,” kesadarannya pulih. “Bagaimana nasib penumpang lain, Bi? Berapa jumlah korban?” Ia sulit menyembunyikan cemas. Matanya kini tak lagi mengatup.

“Korban?” Rupa di depannya menatap bingung.

“Ya, korban tabrakan kereta. Rasanya semua penumpang di gerbong saya meninggal ....”

“Astaga! Istighfar, sayang! Tidak ada kecelakaan kereta. Kamu pingsan di stasiun. Mungkin sejak tiba semalam. Petugas stasiun membawamu ke rumah sakit ....”

“Saya menggunakan kereta paling awal,” ia menukas tak sabar. “Seharusnya kami tiba subuh tadi ....”

“Semua kereta tertunda masuk stasiun sejak jam dua malam. Dua puluh kilometer sebelum stasiun, terjadi longsor, rel amblas ....”

Sulit dipercaya! Diraihnya remote control TV, berharap ada breaking news. Tapi nyaris semua stasiun TV menayangkan infotainment. Hanya ada running text di bagian bawah layar yang membenarkan keterangan bibinya.

Dengan penasaran membuncah, disambarnya tas cangklongnya. Diloloskannya seluruh isinya di atas seprei. Tiket pesawat dan boarding pass ketika ia berangkat, masih ada dan belum terlihat lusuh. Tertanggal kemarin, jam 09.10 pagi. Lalu potongan tiket kereta api untuk pulang – perjalanan mengubur trauma, juga tertera tanggal kemarin. Berangkat jam 20.00 malam, dan sedianya akan tiba di stasiun jam 04.00 subuh ini. Tapi, kecelakaan maut itu ....

“Untung kamu ganti kereta dan berangkat lebih awal,” bibinya kini berdiri di samping tempat tidurnya, ikut memperhatikan potongan tiket di tangannya. “Kalau nggak, kamu pasti masih tertahan menunggu perbaikan rel.”

Ia ingin menukas: lantas ia menumpang kereta yang mana? Tapi pita suaranya mendadak kelu. Ia kini berjuang mengumpulkan ingatan atas kejadian semalam hingga dini hari tadi – ketika ia meloncat memasuki gerbong tua yang kusam dengan perasaan ganjil dan mendapati penumpang yang seluruhnya telah renta. Lalu ... hai, bukankah para penumpang itu terdiam dan tertidur sepanjang perjalanan? Atau, jangan-jangan, mereka memang tidak pernah bangun?

Dan, mimpi buruk itu, tabrakan maut, seseorang yang menyambar tubuhnya ...? Demi Tuhan! Mulutnya ternganga ketika menyadari dan mengingat percik api yang sekilas menerangi wajah dewa penolongnya. Lelaki itu! Bukankah dia ...?

“Bibi!?” Tubuhnya bergetar hebat dalam peluh. Jemarinya beku. Dahinya yang luka terasa makin perih. “Dia ... dia datang. Dia menyelamatkan saya ...,” ia mendesis meracau sembari bangkit dari tempat tidur. Wajahnya seputih seprei. Ia melangkah limbung, dan kemudian jatuh pingsan.

Bibinya menyeru tertahan. Di layar televisi, pembaca berita mengumumkan longsor di kilometer 20 masih terus berlangsung. ***


Kota Wisata, 24 Desember 2006

Catatan : Gambar diambil dari sini

No comments: